Saturday, May 06, 2006

Di Balik Kontroversi RUU APP

Majalah Playboy Indonesia yang telah banyak menuai protes, akhirnya diterbitkan juga awal bulan April ini. Bahkan menurut pengakuan Avianto Nugroho yang menjabat di bagian promosi, Playboy Indonesia sudah mengantongi izin penerbitan sejak November 2005 lalu.

Sejak isu akan terbitnya terdengar, majalah yang lisensinya dipegang oleh PT. Velvet Silver Media ini memang telah menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat kita. Pasalnya, majalah yang menginduk pada Playboy Amerika Serikat ini memang menjadikan aurat wanita sebagai komoditas utamanya.

Memang, kita akui bahwa selama ini pun Indonesia tidak bebas dari pornografi dan pornoaksi. Majalah, VCD, koran, dan berbagai media lainnya yang mengeksploitasi aurat pun sudah banyak beredar di pasaran bebas dan dapat dengan mudah dijangkau oleh seluruh kalangan, termasuk anak-anak dibawah umur. Jadi, terbitnya Playboy Indonesia ini sebenarnya hanyalah menjadi pelengkap dari keterpurukan yang selama ini kita alami. Akhirnya masalah ini pun menuai banyak protes dari berbagai kalangan di berbagai daerah yang mulai tercerahkan dan bermaksud untuk memeperbaiki generasi bangsa ini.

Geliat masyarakat yang menginginkan kehidupan sosial yang lebih baik ini kemudian memunculkan sebuah Rancangan Undang-Undang yang nantinya diharapakan akan dapat membendung bahkan memberangus pornografi dan pornoaksi. Namun seperti halnya pendukungnya, kelompok yang menolak RUU ini pun tak kalah banyaknya. Akibatnya pembahasan masalah ini pun nampak begitu alot. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi adalah bahwa DPR (yang bertugas dalam masalah ini) sendiri masih kebingungan dalam menetukan batasan pornografi dan pornoaksi.

Sebenarnya, berlarut-larutnya pembahasan Rencana Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) ini menunjukkan betapa bobroknya negeri kita. Bukan hanya masyarakatnya saja, tetapi juga pemimpin dan sistemnya.

Dari segi masyarakat, terpecahnya ummat menjadi dua kubu –yang mendukung dan menolak RUU APP- menunjukkan ketidakpahaman mereka pada Islam. Juga pengertian mereka tentang mana yang mashlahat dan mana yang mudharat. Ini bisa dilihat dari alasan-alasan yang terlontar dari para penentang RUU APP, yakni bahwa RUU tersebut jika disahkan nantinya akan mengekang kebebasan berekspresi, khususnya bagi kaum wanita.

Dari segi pemimpin/pejabat, alotnya pembahasan mengenai batasan pornografi dan pornoaksi di DPR, justru menunjukkan betapa jauhnya para wakil rakyat kita dari ad-dien nya, Islam. Bagaimana tidak? Para wakil rakyat yang mayoritas muslim, justru berulang kali mengadakan rapat hanya untuk mendapatkan kata sepakat tentang batasan pornografi dan pornoaksi, padahal Islam telah menjelaskannya dengan tegas sejak berabad-abad yang lalu. Sebagaimana firman Alloh ta’ala:

“ Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka...” (QS. An-Nuur:31)

Juga sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rosululloh saw, “Sesungguhnya ketika seorang perempuan sudah mengalami menstruasi, maka tidak layak terlihat darinya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.”.

Dari sini jelaslah, bahwa tindakan menampakan aurat sekecil apapun, dalam pandangan Islam, adalah termasuk pornografi dan pornoaksi. Tak perlu diperdebatkan lagi apakah mempertontonkan aurat itu dengan tujuan komersial atau bukan. Dan tak peduli apakah membuka aurat itu merupakan budaya kesukuan ataukah bukan.

Adapun ketidaksetujuan beberapa pihak pengelola pariwisata, menunjukkan kebobrokan sistem di negeri ini. Alasan mereka menolak RUU APP adalah karena jika RUU tersebut disahkan, hal ini diyakini akan menurukan pendapatan negara di bidang pariwisata. Dan sepertinya pemerintah kita pun ngeri dengan ancaman ini. Hal ini justru menimbulkan pertanyaan besar bagi kita; Apakah sebenarnya yang dijual oleh pariwisata di negeri ini, keindahan alam atau keindahan tubuh? Jadi, apakah selama ini pariwisata kita ditopang oleh pornografi dan pornoaksi? Jika memang benar demikian, maka ini berarti negeri ini telah berdiri diatas kemaksiatan. Na’udzubillah.

Lalu bagaimana seharusnya tindakan kita dalam menyikapi kontraversi seputar RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi ini? Sebagai seorang muslim, kita tidak boleh asal mengambil keputusan dan bertaklid pada kelompok tertentu tanpa mengetahui ilmunya.

Alloh ta’ala berfirman:Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isra’: 36)

Jadi, adalah kewajiban bagi kita untuk bertabayyun (klarifikasi) atas semua permasalahan yang hadir ditengah-tengah kita, termasuk dalam menyikapi pro-kontra RUU APP ini. Jika kita cermati lagi, ternyata masalah RUU APP ini bukan hanya masalah mendukung atau menolak saja. Tetapi yang terpenting bagi kita, sebagai ummat Islam, adalah bahwa kita pun seharusnya ikut mengontrol perumusan RUU tersebut. Karena apalah artinya pengesahan RUU tersebut jika ternyata isinya bertentangan dengan syari’at Islam.

Ini karena orang-orang yang tidak senang dengan Islam akan senantiasa berusaha menghalang-halangi kaum muslimin untuk mewujudkan cita-citanya untuk ber-Islam secara kaaffah. Apalagi beru-baru ini juga terdengar isu yang tidak mengenakkan yang mengatakan bahwa ada pihak di DPR yang berusaha menenangkan para artis (yang menolak keras RUU APP, karena mereka memang hidup dari keserba-pornoan) dengan mengetakan, “Tenang saja, kalaupun RUU itu berhasil digolkan, kita bisa merubah isinya.”.

Maka adalah tugas bersama bagi kita untuk terus mengawasi perumusan RUU APP, khususnya dalam hal isi, agar bisa sesuai dengan yang digariskan oleh Sang Maha Pembuat Aturan. Jika RUU tersebut sesuai dengan syari’at Islam, maka jangan sampai kita ragu untuk berada di barisan terdepan demi mendukung disahkannya RUU itu. Hingga pada akhirnya kita bisa ber-Islam secara kaaffah.

Wallohu a’lam.

No comments: