Sunday, December 24, 2006

Do'a di Tanah Suci

Ibu, ayah...
Kemarin, kami antar kalian ke Masjid Raya untuk bergabung dengan jama'ah yang lain. Dan hari ini, kalian akan segera terbang menuju tempat yang telah lama kalian idam-idamkan.
Selamat jalan, ayah, ibu... Semoga Alloh senantiasa menyertai kalian, menjamu kalian di tanah suci-Nya, dan mengembalikan kalian dengan selamat ke tengah-tengah kami lagi, dengan predikat Haji Mabrur.
Jangan lupa ya... do'a yang kutitipkan...

Ya Alloh... Ya Robbal ‘alamin... Robbul ‘arsyil ‘azhim...
Ya Hayyu ya Qoyyum...

Ya Alloh...
Kami memohon kepada-Mu, seperti apa yang telah dimohon oleh bapak dan ibu kami, Adam as. dan Hawa, berupa ampunan dari segala dosa dan rahmat yang luas dari-Mu.

Ya Alloh...
Kami memohon kepada-Mu, seperti apa yang telah dimohon oleh kholil-Mu, Ibrohim as., berupa diri dan keturunan yang senantiasa mentauhidkan-Mu dengan menegakkan sholat.

Ya Allloh...
Kami memohon kepada-Mu, seperti apa yang pernah diminta oleh Musa as. dan kaumnya, berupa keselamatan dari orang-orang yang zholim.

Ya Alloh...
Kami memohon kepada-Mu, seperti apa yang dimohon oleh Rosul-Mu, Muhammad saw. pada perang Badar, berupa kemenangan atas dien-Mu.

Ya Robbana...
Jadikanlah kami orang-orang yang sanggup menegakkan amar ma’ruf nahiy munkar, seperti Engkau telah mengokohkan nabi-nabi-Mu dengannya.
Jadikanlah kami orang-orang yang mempunyai ke-khusus-an di sisi-Mu, seperti yang dimiliki oleh para shohabat –rodhiyaLLohu ‘anhum ajma’in-.
Jadikanlah kami orang-orang yang merasakan nikmatnya memandang wajah-Mu, kelak di jannah-Mu.

Ya Robbana...
Jadikan keluarga kami keluarga yang bertauhid
Jadikan masyarakat kami masyarakat yang bertauhid
Jadikan negara kami negara yang bertauhid
Dan jadikan bumi-Mu, bumi yang bergema dengan tauhid.

Aamiin...
Ya Mujib as-sailin...

Wednesday, December 20, 2006

Asmara di Angkot

“De’, udah nikah?!”

“Kenapa??!” (bingung. Mungkin 2 orang berseragam putih-abu itu mengira pendengaran mereka sedang terganggu atau sedang nggak normal. Seorang lagi teman yang duduk di depannya pun nampak melongo)

“Udah nikah?!”

“... belum...” (sedikit terlihat bertampang malu, khususnya yang cowok. Teman di depannya (cowok juga) pun nggak kalah bengongnya)

“Ooo.. kirain udah. Abis kayak yang udah nikah...”

“.. namanya juga anak sekolah!” (setengah mengumpat dan sambil ngumpet di balik badan cowoknya)

“Oh.. gitu ya, kalo anak sekolah?! Soalnya waktu saya sekolah, nggak gitu sih.”

“...dan.. kalo anak Islam nggak begitu. Islam?”

“Saya noni!” (dengan nada sedikit bangga dan bahagia. Mungkin merasa menang karena pertanyaanku tak terjawab dgn kata ‘iya’. Sementara yang cowok masih terus terdiam)

Menang?! Oh, tidak! “... Ooo.. kalo agama saya indah sih!”

..”kiri!” langsung turun, sampe lumpa pamitan. Ya, kutinggalkan mereka dengan malu (mungkin) yang menghinggapi Si cowok, kesal (sepertinya) yang menggelayuti Si cewek, dan bingung (tampangnya) yang menghampiri temannya. Untungnya nggak lupa untuk melemparkan sebuah do’a... “phuff... ya... semoga Alloh memberi hidayah.”

Itulah secuil kisah nyata yang kualami di sebuah angkot di kota hujan. Menyedihkan memang. Tapi, sungguh... pengalaman yang tak terlupakan! Sekaligus pembuktian, BETAPA SEMPURNA DAN INDAHNYA DIEN YANG KU PEGANG! Subhanalloh... Alhamdulillah...

Wednesday, November 22, 2006

BAU!!!

Bau BUSHuk itu semakin menyeruak,
mencemari udara segar kota kami..
Bau BUSHuk itu semakin menusuk,
mengganggu penciuman-penciuman kami..
TIDAK!
Ini tak sekedara aroma bangkai!
Ini pun bukan bau dari bunga bangkai yang dibudidayakan di kebun raya!
Ini bau yang sungguh BUSHuk!
Bau dari taring yang meneteskan darah saudara-saudara kami
dan tangan yang mencabik-cabik tubuh-tubuh yang suci..

# Jelang kedatangan tamu yang tak pernah diundang dan tak pernah diharapkan kedatangannya di kota hujan Indonesia (19/11/2006)
# Curahan hati singkat ini telah disampaikan di udara melalui Radio Islam Al-Iman Swaratama (RIAS) 91,4 FM. Jazakumulloh...

Saturday, November 04, 2006

LMS di Hari Fitri

Diantara puluhan SMS Lebaran yang masuk ke inbox-ku, ada sebuah LMS (Long Message Service) yang cukup membuatku merinding membacanya...

Dia pamit dgn senyum pahit..
Aku tahu..
Dia kecewa..
Slma ini kuacuhkn..
Hari ini..
Kutangisi dia..
Seumur hidup
Dia tak pernah kutangisi..
Entah mengapa..
Kali ini..
Hatiku menangis sedih dan pedih..
Kcwa pd diri sndri..
Ngeri melihat
Dosa dosa melibat..
Dan jiwa nan enggan bertaubat..
Dekatkah sakarat..?
Hari ini dia pergi..
Dan tak kan kmbli..
Akankah Robbi..
Memberiku lagi
ramadan nan suci..
Atau ajal..
Kan mencekal
ditengah jalan?
Seakan trsisip sdh..
Sebuah jawaban..
Slmat jlan ramadn..
Putus sudah semua harapan..
Selain rohmatan
dan ghufronan..

Saturday, October 14, 2006

Romadhon dan Televisi

Romadhon telah tiba menghampiri hamba yang beriman, dengan membawa berjuta pahala, ampunan, dan barokah dari Robb semesta alam. Maka sangat wajar jika ummat Islam pun memuliakan bulan ini. Dan tak mengherankan pula jika demi menyambut bulan suci ini, MUI memberikan himbauan kepada para pengelola TV untuk ‘menertibkan’ acara-acara TV dari hal-hal yang dapat mengganggu ketenangan ummat Islam dalam menjalankan ibadahnya. Hal ini -InsyaAlloh- merupakan sebuah langkah yang sangat baik dari para tokoh ummat Islam Indonesia. Dan tentunya, sebagai ummat Islam, kita pun patut mensyukurinya.

Namun, ibarat peribahasa “Tak ada gading yang tak retak”, himbauan dari MUI ini pun masih memiliki beberapa celah kekurangan. Pertama, seruan dari MUI ini hanya berupa “himbauan” yang tidak memiliki sifat memaksa. Artinya, sebuah himbauan masih memberikan pilihan pada objek yang diseru, yakni mau mengikuti himbauan itu atau bahkan menolaknya sama sekali. Memang, dalam hal ini MUI tidak bisa disalahkan. Karena MUI sendiri ‘hanyalah’ kumpulan ulama, dan bukan umaro (pemegang kekuasaan). Sedangkan untuk dapat membuat peraturan yang bersifat memaksa, haruslah dilakukan oleh pemegang kekuasaan.

Kedua, sangat disayangkan bahwa himbauan dari MUI ini hanya terbatas pada bulan Romadhon saja. Padahal seluruh makhluk diciptakan oleh Alloh untuk beribadah kepada-Nya semata (Q.S. Adz-Dzariyat : 56). Tak ada detik-detik yang berlalu dari kehidupan kita, melainkan Dia lah yang memilikinya. Maka sungguh tidak patut bagi semua makhluk (siapa pun dia; termasuk para artis dan pengelola TV) untuk mengotori detik-detik hidupnya, baik di bulan Romadhon maupun selainnya.

Sungguh, bukanlah Alloh memuliakan Romadhon ini untuk membiarkan manusia menghinakan dirinya dengan kemaksiatan di bulan-bulan lainnya! Dia tidak menciptakan Romadhon agar manusia menjadi “bunglon-bunglon” munafiq! Karena sesungguhnya hanya orang-orang yang gagal lah yang akan kembali ke “warna asal”-nya yang kelam setelah menetapi Romadhon dengan “warna lain” yang suci. Dan hanya orang-orang yang merugilah yang akan kembali dalam kotornya lumpur kemaksiatan setelah mereka berusaha (atau mungkin berpura-pura?) menyucikan dirinya di bulan yang mulia ini.

Sebaliknya, Alloh memberikan Romadhon sebagai “reward” bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Itu sebabnya derajat taqwa akan tersemat pada jiwa-jiwa suci yang berpuasa karena-Nya. Sebagaimana firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu ber-shoum, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (Q.S. Al-Baqoroh : 183).

Ketiga, kriteria acara-acara televisi yang dimaksud dalam himbauan MUI pun nampaknya belum jelas. Memang, pihak MUI sendiri telah menyebutkan beberapa kriteria, seperti pornografi/pornoaksi, kekerasan, mistik, dan infotainment. Namun hal itu belum cukup mewakili, karena definisi dan pemahaman tentang hal-hal tersebut di kalangan masyarakat kita pun masih simpang siur. Misalnya saja, salah satu kriteria acara yang dihimbau untuk di ‘black list’ adalah acara yang mengandung pornografi dan pornoaksi. Padahal, sebagaimana kita ketahui, definisi porno dalam pandangan masyarakat Indonesia pun masih beragam dan jauh dari Islam. Begitupun dengan acara-acara mistik. Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mengira bahwa acara-acara mistik (seperti Pemburu Hantu, dsb) yang jelas-jelas mengandung kesyirikan, sebagai acara yang Islami. Dan banyak lagi kesalahan pemahaman dalam masyarakat terhadap acara-acara yang ada di televisi. Jika MUI tidak memberikan penjelasan lebih lanjut, maka wajar saja jika kemudian stasiun televisi tetap menampilkan acara-acara berbau musyrik dan maksiat.

Selain itu, jika kita lebih kritis lagi melihat perkembangan pertelevisian, maka ungkapan ketua MUI, KH. Ma’ruf Amin, bahwa keburukan di TV sudah mencapai 40 %, jelas tidak tepat. Karena kini tak ada (satu pun) dari acara TV yang bebas dari maksiat, bid’ah, bahkan syirik. Se-Islami apapun acara TV saat ini, tetap saja masih akan menampilkan artis yang membuka auratnya tanpa rasa berdosa. Dan se-Islami apapun acara TV saat ini, tetap saja pemirsa akan disuguhkan dengan selingan iklan-iklan yang jauh dari nilai Islam. Dari sini, maka lebih tepat jika dikatakan bahwa keburukan yang ada pada televisi mencapai hampir 100 %! Lalu, acara TV yang manakah yang harus kita selamatkan dari ‘black list’? Bukan hanya di Bulan Romadhon tapi juga di bulan-bulan lainnya.

Wallohu a’lam.

Monday, September 25, 2006

...HaPPy RoMaDhoN...

Assalamu'alaykum wa rohmatuLlohi wa barokatuh...
HAPPY ROMADHON!!!
Alhamdulillah.. akhirnya rindu ini terobati juga...
hmm... ROMADHON euy!!!
Syahrul Qur'an... SyahruLloh...!!!
Ya Robb... berkahi Romadhon kami kali ini... Sampaikan kami pada derajat Taqwa... aamiin...
"Andainya ini Romadhon terakhir bagiku, kuharap ia nya kan membelaku di akhirat nanti..." [BROTHERS]

#Sungguh manusia adalah tempat lupa dan salah.. makhluk yg dzolim dan bodoh tanpa bimbingan-Nya...
So, bwt semua saudara2ku dimana pun berada, ku pinta maaf atas segala khilaf...
... Ikhlaskan hati, mohon kemaafan, leburlah dosa ...

Sunday, September 10, 2006

Bersyukur atas Keserbaterbatasan

Tepat! Bahwa setiap makhluk diciptakan dengan segala keterbatasannya. Begitu pun dengan manusia.
Tepat! Bahwa hanya Sang Kholiq lah Yang Maha Sempurna.

Beberapa hari yang lalu, sebuah kuliah biologi (yang terkadang menjadi sangat menjijikan dengan teori evolusi yang sok ilmiah) di kampus baruku, tiba-tiba menjadikanku termenung dan bersyukur dengan membuka sisi lain dari sebuah “keterbatasan”. Sisi yang mungkin selama ini sering terlupakan, bahkan oleh pemilik sifat itu sendiri (makhluk).

Keterbatasan adalah sebuah nikmat!
Mungkin sisi ini bukanlah sisi yang sama sekali terlupakan, tapi tak bisa dipungkiri bahwa ia memang sering kali terpinggirkan. Bagaimana tidak?! Setiap kali terdengar kata “terbatas”, sering kali persepsi yang lebih dulu muncul dalam benak makhluk-makhluk yang terbatas adalah bahwa kata itu menunjukkan pada suatu kekurangan, kelemahan, atau ketidaksempurnaan.

Ya, keterbatasan adalah sebuah anugerah yang harus disyukuri. Karena dengan segala keterbatasan yang ada pada diri kitalah, kita dapat merasakan indahnya dunia. Kita dapat melihat berbagai pesona dan hidup dalam ketenangan.

Bayangkan! (ayo... dibayangkan..!)
Bagaimana jika kita diberi pengelihatan yang tak terbatas? Mungkin tidak akan ada seseorangpun yang sedap dipandang mata. Karena ternyata kulit tubuh setiap manusia dipenuhi oleh bakteri-bakteri yang berfungsi sebagai pelindung. Bagaimana kita bisa memandang dengan sedap, jika kita melihat berjuta makhluk yang menggelikan itu bergelayut dengan flagella dan cilia-nya? Mungkin kita semua akan merasa jijik, bahkan pada diri kita sendiri.
Bayangkan pula bagaimana kita dapat tidur dengan nyanyak jika pandangan kita tak terbatas. Padahal di setiap tempat dan di setiap detik, ada begitu banyak bakteri dan virus yang beterbangan. Jika pandangan kita tak terbatas, mungkin setiap kita akan berubah menjadi ‘astronot’ demi melindungi dirinya dari makhluk-makhluk berbahaya itu.
Dan bayangkan juga bagaimana hati kita bisa tenang jika pandangan kita tak terbatas. Karena di setiap tempat dan waktu, entah berapa banyak makhluk terlaknat (dengan rupa yang Allohu a’lam) yang terus mengikuti kita untuk mengganggu keimanan kita. Jika ini terjadi, mungkin kita akan semakin sulit untuk ikhlas beribadah, karena yang terpikir hanyalah bagaimana caranya untuk mengusir makhluk-makhluk terlaknat itu.
Dan jika pandangan kita benar-benar tidak terbatas, sangat tidak mustahil jika akhirnya akan semakin banyak manusia yang kufur nikmat dan lebih memilih untuk menjadi buta saja.

Subhanalloh... Itu baru keterbatasan dalam pandangan, belum keterbatasan-keterbatasan yang lain. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kita memang diciptakan dengan keserbaterbatasan. Keterbatasan pendengaran, keterbatasan pikiran, keterbatasan gerak, keterbatasan kekuatan, dan begitu banyak keterbatasan lainnya. Maka, nikmat Robb-mu yang manakah yang kamu dustakan?

Alhamdulillah atas kesempurnaan yang tunggal Kau miliki.
Alhamdulillah atas keterbatasan yang Kau ciptakan untuk kami.

Saturday, August 26, 2006

Bergerak Untuk Berubah!

Sebuah kenangan di SMA ku tercinta;

“Setiap gerakan pasti mengakibatkan perubahan”

[master of physic in SMANDA Bogor; 31-03-2006]

Ya, ku rasa aku setuju!
Karena perubahan adalah sebuah keniscayaan.

Kata seorang temanku, “Diam itu ga asyik!”.
Bahkan ada jg yg bilang, “Diam berarti mati”. Wuih... syerem amat.

Padahal salah satu award yang kuperoleh di kelas adalah “Terpendiem”. Gimana donk???!!!

Ah... ga papa!

Eits, ini bukan berarti aku ga mendambakan perubahan. Ini jg bukan berarti aku menginginkan kematian. Iiihhh.... bekal ku masih secuil...!!!

Tapi aku juga punya prinsip!
Seperti yg dikatakan oleh idolaku, Muhammad saw, dalam sebuah sabdanya yang diriwayatkan oleh Mutafaq ‘Alayh: “Barang siapa yg beriman kpd Alloh & hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam”.
Maka ketika banyak ghibah, cela, dan tak ada pembicaraan bermakna, aku pun memilih diam di kelas. Tapi bukan berarti ga asyik, apalagi mati.
Aku asyik dalam diamku & aku pun hidup dalam diamku!
Ketika dengan diam, aku menemukan ide, aku merasa asyik dengan diamku. Dan aku merasa senang berlama-lama bersamanya.
Ketika dengan diam, aku tenang bersama Kekasihku, aku pun menjadi begitu hidup dengannya. Dan aku tak mau seorang pun mengganggu kehidupanku yang indah itu.

Namun seasyik apapun & sehidup apapun, diam tetap tak boleh menjadi pilihan utama. Karena tetap, yg nomor satu adalah berkata baik (benar)! Maka bergerak untuk berdakwah tetap lebih asyik & lebih hidup daripada diam. Karena sekecil apapun gerak kita, pasti akan menghasilkan perubahan.

AYO BERGERAK! LAKUKAN PERUBAHAN!!!

Tuesday, August 01, 2006

Apakah Lahir dari Aqidah yang Sesat?

Bismillahirohmanirrohin

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dialah yang telah mengutus Rasulnya dengan membawa petunjuk dan agama yang Haq, untuk dimenangkan-Nya atas semua agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah hamba dan Rasul-Nya. Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran sebagai kebenaran kepada kami dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kebatilan sebagai kebatilan kepada kami dan berikanlah kami kekuatan untuk menjauhinya. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu agar menyatukan hati-hati kami dalam kebaikan, dan Engkau damaikan perselisihan diantara kami dan Engkau tunjukkan jalan keselamatan kepada kami. Amin.

Hizbut Tahrir, yang didirikan oleh Syeh Taqiyuddin An-Nabhani pada tahun 1953. keberadaannya saat ini tersebar di penjuru dunia (hampir di 40 negara). Dan sekarang tetap eksis, walaupun penguasa-penguasa negeri-negeri muslim melakukan tindakan-tindakan represif untuk menghentikan laju dakwahnya. Di Indonesia, perkembangannya kian hari kian pesat, jism (tubuhnya) semakin besar, tapi mudah-mudahan dengan tubuh yang semakin besar tidak membuat HT sakit-sakitan atau gerakannya menjadi lamban. Kunci keberhasilan HT adalah berpegangnya HT pada ideologi (mabda) Islam dan adanya kullun fikriyun wa syu’uriyun yang dibangun dengan adanya tabbani (adopsi) pemikiran yang berkaitan dengan thoriqoh (metode) dakwah dan ri’ayatusy syu’unil ummah (hal-hal yang terkait dengan pengaturan urusan umat, seperti sistem ekonomi, sistem politik dan struktur pemerintahan, sistem pergaulan, dll). Dan untuk hal-hal yang tidak ditabbani oleh HT (seperti masalah ibadah), seseorang boleh mengambil pendapat dari madzhab manapun. Dengan berbekal ideologi dan kullun fikriyun wa syu’uriyun inilah, HT menjadi sebuah kekuasaan raksasa dan pabrik pemikiran Islam yang menginspirasi jutaan kaum muslim di seluruh dunia untuk menegakkan kembali kemuliaan Islam dan kaum muslimin serta mengupayakan untuk menghancurkan dominasi kaum kufar di negeri-negeri muslim. Sehingga wajar bila saat ini, HT menjadi momok yang paling menakutkan bagi barat. Sampai-sampai Nixon Centre melihat HT saat ini sebagai suatu fenomena yang sangat cepat diseluruh dunia dan merasa perlu untuk mengembangkan stategi khusus untuk mencegah semakin meluasnya pengaruh pemikiran-pemikiran HT di dunia Islam.

Anggota HT terbuka bagi setiap muslim yang sudah baligh tanpa memandang jenis kelamin, suku, bangsa, warna kulit, status sosial, pekerjaan, madzhab, dll. Individu-individu dalam HT diikat dengan akidah Islam dan tsaqofah, pendapat dan ide HT. HT tak pernah memaksa, mengkooptasi, mengintimidasi seseorang untuk menjadi anggotanya. Tapi dia sendirilah yang mengharuskan dirinya menjadi anggota HT setelah dia paham mengenai tujuan, metode dakwah, ide-ide dan pemikiran-pemikiran HT. Serta puas dengan tsaqofah dan pemikiran HT dari sisi kekuatan dalil dan ketepatan realitasnya. Tentu saja, setelah sebelumnya ia pun ikut melibatkan dirinya dengan aktivitas dakwah HT selagi dia mempelajari ide-ide HT. HT membina orang-orang yang ada didalamnya dengan metode Islam untuk mendapat ma’arif (pengetahuan) yaitu metode berfikir bukan dengan metode taqlid/emosional semata. Sehingga pemikiran-pemikiran, pendapat-pendapat dan ide-ide tersebut betul-betul menancap kuat dalam setiap orang yang dibina oleh HT. karena setiap orang paham betul dengan dalil-dalil syar’i yang mendasarinya dan realitas yang terkait dengan dalil tersebut, sehingga memunculkan keyakinan dan pembenaran terhadap pemikiran-pemikiran dan ide-ide yang sedang dibahas dan selanjutnya akan terjadi proses qana’ah (menerima dengan ikhlas) untuk melaksanakan dan mendakwahi pemikiran dan ide-ide tersebut. HT juga membuka diskusi yang seluas-luasnya, hingga orang-orang yang dibina betul-betul merasa puas dengan ide-ide dan pendapat HT, hingga ke level yang tertinggi yakni pimpinan HT. bukan hanya berdiskusi kepada pembina atau penanggung jawabnya saja. HT pun membuka diri menerima saran dan kritik dari siapa saja, bukan hanya dari orang-orang yang dibina HT, tapi juga individu manapun dan dari kelompok Islam manapun. Dan HT akan siap untuk mengoreksi atau mengubah pendapatnya, jika orang tersebut bisa meyakinkan HT bahwa dalilnya lebih kuat. Karena pendapat HT bukanlah sesuatu yang suci yang tidak bisa diubah atau dikoreksi. Tapi jika pihak yang mengoreksi, tidak bisa meyakinkan HT dengan dalil yang lebih kuat, maka HT akan tetap pada pendapatnya semula.

Oleh sebab itu, usaha provokasi apapun yang berupa fitnah terhadap pendapat-pendapat, ide-ide, maupun HT itu sendiri (maaf salah satunya tulisan yang ukhti buat) tidak akan menggoyahkan orang-orang yang telah dibina oelh HT, apalagi sampai kemudian mereka berpaling dari HT, kecuali hanya 1 atau 2 orang saja (orang-orang yang malas berfikir, orang-orang yang taqlid dan orang yang tidak bertabayyun terlebih dahulu).

Cobalah ukhti renungkan pertanyaan-pertanyaan saya berikut ini, bacalah dengan hati bukan dengan mata dan jawablah dengan pikiran jernih dan hati yang bersih.

  1. apakah mungkin dari aqidah/akar/pondasi yang keliru HT bisa mengubah individu2 yang dibinanya menjadi individu2 yang menyerahkan hidup dan matinya hanya untuk Allah? Apa mungkin dari aqidah yang rusak, mereka begitu takut kepada Allah sehingga sekuat tenaga berusaha untuk terikat dengan hukum Allah?
  2. apakah mungkin dari iman yang menyimpang, orang2 yang dibina dengan pemikiran2, ide2, pendapat2 HT rela mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, harta bahkan jiwanya untuk menegakkan Islam, meninggikan kalimat-kalimat Allah dan mengembalikan kemuliaan Islam dan kaum muslimin?
  3. bagaimana dengan Muhammadev Otobex yang syahid di penjara Andijan berikut puluhan ribu muslim dan muslimah di Uzbekistan yang ditahan tanpa diadili dan selama dipenjara, mereka disiksa dengan sengatan listrik, dipukul, dibuat sesak nafas, disiram dengan gas klor, direbus dalam air mendidih hingga meninggal dunia demi mempertahankan kebenaran yagn sedang mereka emban. Apakah ini buah dari aqidah yang sesat?

Jika dibandingkan dengan aktivitas dakwah yang dijalankan oleh Rasul dan para sahabat untuk menegakkan Islam, mengupayakan Islam diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan akhirnya beliau berhasil dengan pertolongan dan izin Allah dengan tegaknya Daulah Islam yang pertama di Madinah, aktivitas HT dan orang2 yang tergabung didalamnya belumlah seberapa. Rasul SAW dan para sahabat door to door mendatangi orang2 quraisy untuk mendakwahkan Islam, berinteraksi dengan orang2 dijalan, dipasar untuk menyeru dan mengajak mereka kedalam Islam. Sehingga dari hasil kontak/interaksi Abu Bakar, beliau berhasil mengislamkan banyak orang quraisy. Kemudian bagaimana Abdullah bin Mas’ud yang dilempari batu dan dipukuli saat membacakan Al-Qur’an dihadapan orang2 kafir quraisy. Demikian juga Bilal, keluarga Amar Bin Yair yang disiksa orang2 kafir quraisy karena keteguhan mereka memegang islam. Atau jika dibandingkan dengan upaya Mush’ab bin Umair, sang peletak pondasi keberhasilan dakwah di Madinah sehingga Madinah menjadi benih awal berdirinya Daulah Islam. Seandainya HT tidak mengarahkan orang2 yang ada didalamnya untuk beraktivitas, tentu kita (orang2 yang ada di tubuh HT) tidak akan terdorong untuk menempa diri, baik aqliyah maupun nafsiyah, tidak akan termotivasi untuk berdakwah, melakukan kontak2, menyuarakan opini Islam, mengingatkan penguasa atas kelalaiannya mengurusi umat. Dan walaupun saat ini HT sudah mengarahkan aktivitas untuk orang2 yang sudah dibinanya, tapi sebenarnya aktivitas tersebut masih aktivitas minimal yang diharapkan seiring dengan peningkatan kesadaran dan keihkhlasannya, bisa mendorong berbuat yang lebih baik dan lebih baik lagi. Sehingga aktivitas mereka bisa menyamai aktivitas para sahabat baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Karena, Khilafah yang awal berhasil ditegakkan oleh orang2 sekualitas sahabat, berarti khilafah yang berikutnya (yang Insya Allah tidak akan lama lagi akan berdiri), hanya bisa ditegakkan oleh generasi saat ini yang kualitasnya sekaliber para sahabat.

Pembina ukhti selama ini, yang secara ikhlas membina ukhti, memikirkan berbagai uslub (cara) agar ukhti dan teman2 menjadi orang2 yang beraqliyah dan bernafsiyah Islam. Tidak pernah digaji dan tidak pernah diberi upah oleh HT atas jerih payahnya. Mengapa dia mau melakukannya? Apakah yang mendorong dia untuk berbuat seperti itu? Jawabnya karena didorong oleh keimanan, wahai saudariku. Jadi bagaimana mungkin aqidah yang bengkok bisa menghasilkan keikhlasan?

Tidak seperti partai ataupun kelompok yang lain, untuk mengerahkan massa, HT tidak perlu memberikan ongkos transport buat mereka, tidak perlu mengiming-imingi dengan kaos, payung, makan siang gratis atau uang. Bahkan mereka berdiri, berdesak-desakan di kereta, ibu-ibu dengan susah payah membawa anak mereka. Ini semuanya karena apa? Atau ukhti mau mengklaim bahwa mereka dipaksa, dikooptasi, dan diintimidasi untuk mau melakukan ini semua?

Apakah juga hasil dari aqidah yang keliru, jika HT dan para syababnya konsisten menyuarakan syariat Islam dan mengatakan kebaikan dan rahmat untuk seluruh alam jika dinaungi dengan syariat dan menerapkan syariat Islam secara kaffah? Apakah juga dari aqidah yang keliru jika HT menolak hukum-hukum thoqut, karena keyakinan bahwa Allahlah satu-satunya Al-Mudabbir dan sebaik-baik pembuat hukum?

HT berupaya terus membuka makar orang2 kafir yang telah menindas, merampok dan menjajah negeri2 muslim walaupun untuk itu HT harus berhadapan dengan kaum kuffar penjajah yang tidak segan2 menggunakan berbagai cara yang menjijikkan untuk menghadang dakwah HT. apakah sikap keras terhadap orang-orang kafir juga termasuk bagian dari aqidah yang sesat?

Disaat kaum kuffar memasung kepedulian kaum muslimin di suatu negeri terhadap kaum muslimin di negeri lain. Kemudian HT menguak kebusukan nasionalisme dan menyerukan kaum muslimin untuk bersatu, menjalin ukhuwah islamiyah yang dilandasi oleh aqidah Islam dan menghapus kotak-kotan nation. Yang dibuat oleh kaum kafir. Apakah hal ini buah dari aqidah yang busuk?

Jika aqidah HT keliru bahkan dikatakan sesat, mengapa K.H Ma’ruf Amin, K.H Kholil Ridwan, Habib Riziq dan ulama-ulama pesantren, tidak menjadikan HT terdakwa yang ketiga setelah Ahmadiyah dan Lia Eden yang diseret ke pengadilan karena beraqidah menyimpang dan menodai Islam? Apakah mereka tidak tahu kalau aqidah HT sesat? Padahal HT jauh lebih berbahaya dibandingkan Ahmadiyah dan Lia Eden karena justru HT lebih banyak anggota dan pendukungnya. Bahkan para syababnya gencar menyebarkan pemikiran2 HT. apakah mereka tidah tahu HT dari kulitnya saja? Apakah mereka tidak tahu pemikiran2 dan ide2 HT? Apakah mereka mereka orang2 yang mudah dibodohi oleh HT dan dihipnotis oleh HT? Atau mereka disuap oleh orang2 HT sehingga mau berdiam diri melihat kesesatan aqidah HT ? mengapa mereka diam? Dan sekarang apakah ilmu yang ukhti miliki jauh diatas mereka, sehingga ukhti lebih tahu dan bisa melihat lebih jeli bahwa aqidah HT sesat. Sementara para ulama itu tidak bisa melihatnya dan tidak mengetahuinya?

Orang-orang HT tidak pernah berputus asa, walaupun sudah sekian lama berupaya mengembalikan kemuliaan Islam dan kaum muslimin, dengan menegakkan Daulah Khilafah Rasyidah ‘ala minhajin nubuwwah. Dan semangatnya terus menyala karena yakin saat ini memang Allah belum berkehendak dan semuanya ini adalah qadla dari Allah. HT juga yakin dalam waktu dekat pasti Allah menurunkan pertolongan-Nya dengan tegaknya Khilafah. Apakah keyakinan ini juga lahir karena tidak meyakini taqdir?

Apakah sama pernyataan “HT tidak meyakini taqdir (baca:qadla dan qadar) karena dasar kehujahannya adalah hadits ahad” dengan pernyataan “Permasalahan qadla dan qadar diyakini oleh HT, tidak didasarkan pada hadits ahad, melainkan hal ini diyakini sebagai konsekuensi keimanan kepada Alah dan sifat-sifat-Nya”? atau justru ukhti tidak mengakui dan meyakini hak prerogratif Allah untuk menetapkan apa yang akan menimpa manusia dan Allah mempunyai hak untuk menetapkan sifat2 khas, keunikan2 atau keistimewaan pada makhluk2 ciptaan-Nya?

Dahulu, kaum muslimin selalu menilai pribadi seseorang berdasarkan pemikiran2 dan gagasan yang ia keluarkan dan bukan sebaliknya. Imam Ali ra, pernah berkata: “Kenalilah kebenaran terlebih dahulu, baru kemudian kalian dapat mengenali orang-orang yang mengikuti kebenaran. Apakah ilmu itu harus ditolak jika tidak dihasilkan oleh para sahabat? Berarti ilmu ushul fiqih, mutholah hadits, nahwu, shorof, balaghah, atau ilmu-ilmu pengetahuan saat ini pun tidak boleh dipelajari bahkan harus kita tolak karena ilmu-ilmu ini bukan hasil ijma dari sahabat ataupun dari wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Imam Syafe’i adalah peletak “ilmu baru” ushul fiqih” yang saat ini belum ada satu pun ulama yang membahasnya. Tapi ulama saat ini tidak mengatakan Imam Syafe’i telah sesat karena membuat bid’ah, tapi justru salah satu ulama Al-Hafidz Abdurahman Al-Mahdi mengatakan tentang Imam Syafe’i “Ketika saya melihat ar-risalah karangan Imam Syafe’i, maka saya heran karena saya melihat pembicaraan seorang yang cerdas, cemerlang dan fasih serta objektif. Oleh karenanya, saya memperbanyak do’a untuk beliau dan saya tidak mengira bahwa Allah menciptakan orang hebat seperti ini”. Dan sekarang pertanyaan saya, apakah ada, dalil syar’i baik dari Al-Qur’an, As-Sunah, ijma sahabat maupun qiyas yang mengharamkan penjelasan tentang aqidah dan syari’ah dengan uslub yang lebih mudah diterima, yang mana uslub penjelasan tersebut tidak pernah dilakukan Rasul? Apakah ukhti yakin, cara-cara untuk menjelaskan Islam yang dilakukan sahabat sama dengan yang dilakukan oleh Rasul? Apakah Rasul marah ketika seorang badui arab ditanya oleh Rasul “Dengan apa engkau mengenal Rabbmu?” jawabnya “Tahi unta itu menunjukkan adanya unta dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan”?

Saya ingin bertanya, apa beda ukhti dengan orang2 yang menjadi antek-antek orang kufur yang mereka berupaya untuk melunturkan semangat para muharik untuk memperjuangkan Islam dan berupaya menghilangkan kepercayaan para muharik tersebut pada kelompok2 Islam termasuk HT? apakah ukhti sadar, ukhti bisa menjadi pemimpin orang2 yang meninggalkan kewajiban untuk menegakkan kemuliaan Islam karena tulisan yang ukhti buat dan kemudian disebarkan? Tapi saya yakin, hanya 1 atau 2 orang saja dari syabab HT yang akan terpengaruh oleh tulisan ukhti.

Dan terakhir saya ingin bertanya apakah ukhti sadar bahwa ukhti menjadi bagian dari Ahlu sunnah wal jamaah tapi justru sikap ukhti tidak mencerminkan hal tersebut. Yang termasuk Ahlu sunnah wal jamaah tidak dibatasi satu kelompok tertentu, tapi siapa saja yang menjadi “ahlu sunnah” yaitu pengikut sunnah nabi atau pengikut ajaran Rasulullah SAW baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah. Ahli berjamaah itulah yang termasuk golongan Ahlu sunnah wal jamaah yang akan selamat dari api neraka. Jelas jamaah disini adalah “kelompok yang terorganisir” untuk senantiasa menjaga dan menegakkan Islam itu sendiri. Apalagi dalam Q.S Ali-Imran:104, Allah SWT berfirman”

“Hendaklah ada segolongan umat yang menyeru kepada Al-Khoir (Islam), meyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah oerang-orang yang beruntung”

makanya saya heran ukhti mengatakan sebagai Ahlu sunnah wal jamaah tapi justru ukhti melanggar Al-Qur’an dan Hadits-hadits yang berkaitan dengan kewajiban berjamaah. Hal tersebut tercermin dalam keputusan ukhti untuk tidak masuk ke jamaah manapun. Apalagi kejahatan yang terorganisir bisa mengalahkan kebaikan yang amburadul (tidak terorganisir) dengan baik. Ingat ukhti, makar orang-orang kafir telah tersusun dan direncanakan dengan sangat rapi.

Demikian dari saya, mudah-mudahkan mau merenungkan. Beberapa hal mungkin lebih enak kita diskusikan lebih lanjut. Saya tidak menjawab hal yang masih menjadi pertanyaan dan ganjalan ukhti, karena khawatir terkesan “membela diri”.

Syukron, Jazakillah

Wassalamu ‘alaikum Wr.Wb.

Mba *****


:) aku cuma mau mengatakan satu hal, mba... Apa yg qt bicarakan tdk akan mendapat titik temu, karena aku bicara ttng 73 golongan yg kesemuanya masih Islam, sedangkan yg mba bicarakan adalah golongan2 sesat yg jelas2 di luar Islam (Ahmadiyah & Lia 'Edan').
Tapi syukron katsir atas suratnya, mba... Jazakillah khoyr :)

From Kang Oleh

Assaalamu'alaikum wr. wb.

Hmm.. kayaknya seru juga nih. Tapi, sebelum saya mencoba memberikan jawaban, sebetulnya saya agak 'menyayangkan' keputusan ukhti Mardiyah untuk memilih tidak berjamaah. Sebab, mungkin saja itu keputusan yang terkesan tergesa-gesa. Saya nggak tahu kalo sebelumnya ukhti Mardiyah sudah berdiskusi dengan siapa saja ttg masalah ini, sehingga memutuskan dengan, katanya, tidak berdasarkan emosional semata. Tapi, apakah pernah dilakukan diskusi langsung dengan "petinggi" HT yang ada di negeri ini? Jika memang ingin mencari kejelasan yang lebih detil dan mampu "menganggukkan" kepala ukhti Mardiyah, saya pikir ukhti harus 'menguber' langsung pengurus "teras" HT. Bukan hanya diskusi dengan musyrifahnya saja (yang mungkin saja masih terbatas pemahamannya), juga dengan pengurus di wilayah tempatnya berdomisili.

Atau, andai saja ingin mencari jawaban yang lain tentang pemikiran2 HT yang masih mengganjal bagi ukhti Mardiyah, kan bisa disampaikan di milis ini misalnya, sebelum memutuskan berhenti bergabung dengan HT. Siapa tahu syabab HT atau syabab dari gerakan lain bisa membantu menjawab kebingungan ukhti (seperti tanggapan yang saya pikir cukup bagus dari akhi Eko dan akhi Syamsuddin (BTW, piye kabare mas Syam? 22 Juli 2006 insya Allah saya ada acr di Surabaya lho. Hehehe.. kapan makan nasi Punel Bangil lagi ya?). Jadi, surat terbuka ini menurut saya malah bukan ingin mencari kebenaran, tapi sudah memutuskan pilihan--sementara mungkin kebenaran yang diinginkan itu belum ukhti dapatkan jawabannya dari orang lain secara penuh dan menyeluruh. Tentu keputusan tsb menurut saya sih, kurang adil, gitu lho. Tul nggak sih? :-)

Tapi ya, apa boleh, keputusan sudah ukhti mardiyah tetapkan. Jadi kalo pun ada penjelasan tambahan dari temen-temen di milis ini atas keraguan ukhti Mardiyah terhadap beberapa poin yang ditulis dalam surat terbuka itu, mungkin tak berarti banyak. Tapi, saya masih berharap ukhti Mardiyah bisa lebih tenang dan fair. Kalo pun sudah memutuskan tidak berjamaah, tapi jika jawaban2 ini dikumpulkan lagi oleh akhi Daryono sbg "penyambung" pengiriman surat ini ke milis PI dan disampaikan lagi ke ukhti Mardiyah, saya pikir nggak ada salahnya untuk berubah pikiran kembali. Kalo pun nggak, ya ndak apa-apa kok. Setiap orang punya pendapat, punya pilihan, punya harapan, punya keinginan. Atas semua itu juga sudah ada konsekuensi bagi dirinya.

Oke deh, saya nyoba ngumpulin pendapat2 yag berserak soal ini, sesuai yang saya pahami. Jadi, kalo ada kekeliruan tolong juga dibetulkan. Oya, saya kayaknya saya coba tanggapi ttg definisi iman dan ttg hadis ahad aja deh.

Mengenai definisi iman atau akidah yg ukhti Mardiyah pertentangkan definisinya, yakni pendapat Ust Taqiyuddin an-Nabhani yang mendefinisikan bahwa akidah atau iman adalah pembenaran yang pasti (tashdiq al-jazm) yang sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil. Sebenarnya definisi yang hampir serupa disampaikan juga oleh Prof. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqiy dalam kitabnya, Sejarah dan Pengantar Tauhid: "Iman adalah kepercayaan yang kuat, tidak dipengaruhi oleh syak (ragu-ragu) atau wahm (persangkaan yang tidak beralasan) ataupun zhan (persangkaan yg tidak memiliki alasan kuat).

Dua pernyataan ini menurut saya, sebetulnya sejalan juga dengan jawaban Rasulullah saw. ketika ditanya oleh malaikat Jibril ttg apa itu iman. Dari Umar bin Khaththab ra, bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, "Kamu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab – kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari kiamat dan kepada takdir yang baik dan yang buruk" (HR Imam Muslim)

Maksud sejalan ini adalah, bahwa tidak mungkin untuk mengimani rukun iman tsb tanpa pembenaran yang pasti yang sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil.

Oya, selain mengimani rukun iman yang enam itu (yang memang itu merupakan kerangka akidah), masih banyak perkara lain yang termasuk dalam akidah, seperti iman thd rizki, ajal, tawakal kepada Allah Swt., iman dengan pertolongan Allah, iman thd sifat2 Allah, iman thd kema'shuman Nabi dan Rasul, juka mukjizat al-Quran dsb.

Nah, tentu agar akidah atau iman itu pembenarannya bersifat pasti, harus ditunjukkan dengan keyakinan (al-ilmu). `Ilmu adalah 'itiqad atau keimanan pasti yang sesuai dengan kenyataan. Adapun zhan adalah 'itiqad atau keimanan yang kuat tetapi berdasarkan persangkaan sehingga bermuara pada keyakinan atau bisa sampai pada keraguan (syak). Itu sebabnya, seperti yang ditulis ukhti Mardiyah bahwa pengertian zhan secara bahasa tidak saja bermakna celaan, tapi juga bisa bermakna pembenaran. Memang bisa demikian, tetapi, ya bisa kemudian meyakini, bisa juga malah jadi ragu kalo proses pembenarannya itu berdasarkan sangkaan meski 'itiqadnya kuat. Allah Swt. berfirman: "Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran" (QS Yunus [10]: 36)

Memang, kalo kita membaca al-Quran, kata zhan yang tercantum di kalamullah itu memiliki banyak arti, sebagaimana ditunjuk dlm masing2 ayat yg mencantmkan kata2 tsb. Zhan yang berarti 'ilmu wal yaqin tercantum dlm ayat:"Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai," (QS al-Haaqqah [69]: 20-21)

Nah, lafadz zhan spt ini yang mendapat pujian di dalam al-Quran krn kat tsb menunjukkan makna al-'lmu wal yaqin.

Kata zhan di dalam al-Quran juga trdpt dlm makna lain, yaitu al-'ammaarah alias persangkaan/ilusi, sbgm tercantum dlm ayat: "bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka kepada Tuhanmu, Dia telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (QS Fushshilat [41]: 22-23)

Ternyata, dalam al-Quran terdapat pula ayat yg mengandung kata zhan yg berarti ra'yu, yaitu pendapat yg bertitik tolak pada suatu dalil, namun dalilnya tidak qathi' (tidak bersifat pasti). Artinya, pendapat itu bukan suatu keyakinan sebagaimana arti zhan pada bagian kedua. Makna zhan pd bagian ketiga ini terletak antara pengertian pertama dan kedua, sebagaimana tercantum dalam ayat: "dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS an-Nisaa' [4]: 157-158)

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini bahwa, "Bagi orang-orang yang mengatakan: 'Sesungguhnya kami telah membunuh al-masih...' pernyataan mereka itu sebenarnya tidak berlandaskan persangkaan/ilusi. Mereka memiliki dalil yg dicerap oleh indera mereka bahwa orang yang ditangkap kemudian disalib itu memang mirip sekali dengan Isa a.s, sebagaimana tercantum dalam ayat: 'Akan tetapi, (yg mereka bunuh itu) adalah orang yg diserupakan (wajahnya) dengan Isa bagi mereka.' Meskipun demikian, dalil tsb tidak pasti dan tidak menghantarkan mereka pada suatu keyakinan, karena sebagian di antara mereka ada yg berkata: 'wajahnya wajah Isa, tapi tubuhnya berbeda'."

Demikian pula apa yg dilakukan oleh para Hawariyin (pendamping Nabi Isa a.s) yg memberitahukan kpd org2 bahwa yg disalib itu bukanlah Isa a.a. Namun, sebagain besar org tdk percaya. Org2 yg berhasil menyalib dan membunuh Isa a.s menganggap dalilnya kuat. Akan tetap, Allah Swt. memastikan bahwa pendapat mereka itu tdk benar sama sekali, dan tidak menghantarkan pada derajat yaqin dan 'ilmu.

Nah, yang menarik adalah pada ayat tsb di atas, pada saar bersamaan menggunakan empat lafadz: syak, yaqin, zhan, dan 'ilmu. Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa persangkaan itu meskipun bersifat rajih (jelas) tetap tidak disamakan atau tergolong sebagai ilmu, sehingga derajatnya nggak sampe ke taraf yakin (pasti). Ayat tsb menjelaskan pula bhw zhan yang rajih, yg bersandar pada bukti tidak sama dengan persangkaan/ilusi.

So, itu sebabnya zhan diartikan sebagai dugaan kuat. Sebagian org2 Nasrani telah meriwayatkan cerita ttg pembunuhan Isa a.s sbg suatu riwayat yg didasarkan pada kesaksian, lalu diriwayatkan kembali oleh org2 yg dianggap dipercaya dr kalangan mrk utk disampaikan kpd yg lain. Cara periwayatan spt ini tingkatnya sama dgn khabar ahad yg masyhur, dan bukan riwayat yg mutawatir krn msh dijumpai org2 yg ragu thd riwayat tsb dgn alasan2 trtentu.

Jadi, meskipun sebagian besar org (kecuali Hawariyin) memiliki bukti yg amat kuat, ttp al-Quran tdk menerimanya sbg suatu bukti, serta menolak dgn tegas perkara itu.

Nah, skrg bagaimana hubungan antara dalil zhan dan hadis ahad yang ukhti Mardiyah persoalkan juga? Zhan itu sendiri menurut Ust Fathi Salim dalam kitabnya al-Istidlaalu bi zhann fi al-Aqidah, mengandung arti I'tiqaad/keyakinan yg rajih (kuat/jelas), tetapi mengandung dua alternatif (yg bertentangan) sehingga harus meyakininya atau ragu/menolaknya.

Oke. Berdasarkan pengertian ini maka, zhan merupakan sesuatu yg mengandung lebih dari satu pengertian/kemungkinan sehingga terdapat peluang bagi manusia utk memilih pendapat yg dianggapnya mendekati kebenaran (yakin). Jadi, perkara zhan nggak bisa dipastikan akan menghasilkan sesuatu yg yakin. Hal ini menjadi alasan mengapa dalil zhan tidak dapat digunakan sebagai dalil dan hujjah dalam masalah akidah. Begitu deh. :-)

Memang ada perselisihan ttg hadis ahad ini dalam penggunaannya sebagai dalil akidah. Golongan yg berpendapat bahwa hadis ahad dpt menghantarkan pada derajat yakin, sehingga dpt dijadikan hujjah dlm perkara akidah adlh sebagian besar ulama hadis, seperti Imam Abu Dawud, Ibn Hazm, al-Karisi, al-Muhasibi, Imam Ibn Hajar al-Asqalani dan Ibn Shalah.

Adapun jumhur ulama ushul menetapkan bahwa hadis ahad menghantarkan pada zhan, namun hadis ini setelah diakui kesahihannya wajib diamalkan dalam perkara syar'i. Berbeda halnya dengan perkara akidah, karena tdk sampai pada derajat yakin, tidak dapat diamalkan. Golongan yg berpendapat seperti ini antara lain Imam madhzah yg empat (Syafi'i, Maliki, Hambali dan Hanafi), Imam Ghazali, a-Bazdawi, Khatib al-Baghadadi, hingga generasi terakhir seperti Syayid Qutb.

Masalahnya, agar akidah yang kita anut betul2 bersih dan lurus, jauh dari keraguan dan syak meskipun sedikit, sumber dan makna dalilnya harus bersifat pasti. Syaikh Jamaluddin al-Qasimi berpendapat dalam kitabnya, Qawaa'idu at-Tahdits: "Sesungguhnya jumhur kaum Muslimin dari kalangan sahabat, tabi'in, golongan setelah mereka dari kalangan fuqaha, ahli hadis, dan ulama ushul beerpendadapat bahwasannya khabar ahad yg terpercaya dapat dijadikan hujjah dalam masalah tasyri. yang wajib diamalkan, tetapi (khabar ahad ini) menghantarkan pada zhan tidak sampai pada derajat 'ilmu (yakin).

Sementara Imam Kassani berpendapat: "Dengan demikian, pendapat sebagian besar fuqaha menerima hadis ahad yang terpercaya dan adil serta (hadis ahad ini) diperlukan dalam perkara amal (tasyri'), kecuali perkara akidah, sebab i'tiqad wajib dibangun berdasarkan dalil2 yg yakin, yg tdk ada keraguan di dalamnya, sementara dlm masalah amal (tasyri') cukup dgn dalil yg rajih (kuat) saja.

Itu sebabnya, perlu dipahami bahwa tidak diterimanya hadis ahad sbg dalil dalam perkara akidah bukan berarti kita menolak dan mengingkari hadis2 ahad dalam perkara tasyri', bahkan kedudukan hadis ahad dalam perkara tasyri' sudah disepakati oleh seluruh fuqaha. So, tidak adanya i'tiqad bukan berarti ingkar/menolak, tetap menerima, hanya tidak jazm (pasti), terutama dalam perkasa akidah.

Lagian kalo ada yang kemudian berpendapat ttg hadis, "Meski ahad hadisnya, tapi kan itu dari Rasul, jadi harus dipercaya." Hmm.. kalo gitu, buat apa ada ulumul hadis? Buat apa para ulama mengklasifikasi hadis: shahih, hasan, dan dhaif. Atau dari segi sedikit-banyaknya rawi: mutawatir dan ahad. Bahkan hadis ahad itu masih dibagi lagi tiga: ahad masyhur (hadis yang diriwayatkan oelh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir); ahad 'aziz (hadis yg diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tsb terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian setelah itu, orang2 pada meriwayatkannya); ahad gharib (hadis yg dalam sanadnya terdapat seorang yg menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi).

Ah, pegel juga nih, takut bosen yang baca :-)>>apalagi yang udah tahu soal ini. Ini aja tanggapan dari saya. Semoga ada manfaatnya. Semoga juga ukhti Mardiyah bisa semakin yakin alias tidak bingung lagi. Terima kasih.


Salam,

O. Solihin

Untuk ukhti mardiyah dan kawan2 yg budiman

ukhti mardiyah dan kawan2 yg budiman,

pertama kali, saya ingin mengucapkan selamat pada ukhti mardiah yang telah melalui proses berfikir dalam mencari kebenaran (sebuah tradisi positif yang dikembangkan dalam hizb) meskipun hasil atau kesimpulan yang diambil berbeda. saya menghargai kesimpulan yang ukhti ambil. mudah2an ukhti juga udah sholat istiharah untuk mengambil jalan tersebut, jadi kalo yang dirasa adalah hidayah Allah semoga memang bener datangnya dari Allah dan bukan bisikan syetan atau hawa nafsu.

kedua, tulisan ini adalah tanggapan spontan saya yang sekedar secuil potongan puzle di tengah mozaik khazanah pemikiran yang begitu luas dalam mencari kebenaran.

saya akan langsung saja masuk pada point2 yang membimbangkan ukhti pada mulanya, yakni tentang definisi iman. dari surat ukti terlihat bahwa ukhti memposisikan berbagai pendapat/ definisi para ulama tentang iman secara diametral, seperti penyataan ini: Tapi kini aku mengerti, pertanyaan yang seharusnya bukanlah seperti itu, tapi justru sebaliknya, “Kalau tidak bertentangan, lalu kenapa kita harus membuat dan menetapkan definisi lain? Kenapa kita harus mengambil definisi An-nabhani dan meninggalkan definisi dari para Salafus Sholih? Bahkan bukankah ‘ijma Shahabat merupakan sumber hukum Islam yang ketiga? Lalu kenapa harus kita tinggalkan definisi Syar’i ini?”. Ditambah lagi, ternyata definisi “tashdiq” lebih dekat kepada definisi Iman menurut golongan murji’ah.

saya tidak meragukan upaya ukhti untuk mencari ilmu, hanya saja saya lihat ada kerancuan ukhti dalam menempatkan berbagai ilmu yang dimiliki dalam konteks yang tidak tepat. tahukah ukhti, ketika imam ali ditanya tentang sebuah persoalan (kalo saya tidak salah tentang keutamaan harta atau ilmu) beliau menjawab dengan 10 jawaban berbeda pada orang yang berbeda. perbedaan jawaban itu tidak menunjukan ketidakkonsistenan atau bias namun justru menunjukan keluasan ilmu beliau. demikian pula, ketika Rasul ditanya tentang iman, maka jawaban rasul pun sangat beragam. jawaban2 tersebut diberikan secara berbeda kepada orang yang berbeda dengan titik tekan masing-masing sesuai kondisi orang yang bertanya. ada banyak hadits tentang iman. salah satu contohnya, rasul pernah menyampaikan: La yu'minu akhadukum hatta yukhibba li akhiihi ma yukhibbu linafsihi. terjemahan bebasnya: tidaklah beriman seorang diantara kalian hingga mencintai saudaranya seperti mencintai diri kalian sendiri. apa pendapat ukhti tentang hadits ini? bukankah dapat ditarik suatu pemahaman bahwa rasa cinta pada saudara kita juga menjadi syarat keimanan? lalu bagaimana dengan muslim yang egois, tidak peduli dengan saudaranya, tapi rajin beribadah? apakah berarti tidak beriman? oleh karena itu terjemahan tsb diperhalus oleh para ulama menjadi "tidak sempurna iman seseorang hingga....."

bila kita dapat memahami 10 jawaban seorang imam ali yang berbeda2 tentang satu persoalan, sebagai kekayaan ilmu, seharusnya kita dapat lebih mentoleransi perbedaan jawaban definisi tentang iman yang diberikan oleh dua orang yang berbeda pada zaman yang berbeda dengan alasan yang sama (kekayaan khazanah islam). jadi persoalannya bukan pada: lalu jawaban mana yang benar? namun jawaban mana yang tepat dalam konteks masalah yang tepat?

Definisi iman sebagai tasdiqul jazm (pembenaran yang pasti) diulas oleh an nabhani dalam bab-bab awal tentang aqidah. dalam hal ini definisi tersebut memberikan tekanan pada batasan antara iman dan kufur. seseorang harus meyakini dan membenarkan secara pasti (tanpa ada keraguan) tentang sesuatu yang diimaninya. Dalam banyak riwayat hadits, kita mengetahui bahwa di akherat kelak, orang-orang yang berbuat maksiyat dan bertempat di neraka akan diberikan balasan sesuai amalannya, dan akan dicari yang masih memiliki iman, untuk akhirnya diselamatkan. bagaimana kita mensikapi ini bila definisi yang digunakan adalah sesuatu yang diyakini, diucapkan, dan diamalkan? sementara amalan orang2 tsb justru maksiyat. namun Allah berjanji akan mengangkat/ menyelematkan mereka yang masih memiliki iman. Artinya, iman dalam konteks ini menjadi batasan apakah seseorang meyakini/ membenarkan secara pasti/ tak ada keraguan terhadap eksistensi Allah, membenarkan bahwa Allah lah penciptanya, pembuat hukum, pengatur kehidupan...meski dalam prakteknya ia menjadi dzolim atau fasik.

Saya memahami jawaban definisi iman para ulama yang beragam boleh jadi dipengaruhi titik tekan perhatian masing-masing menghadapi berbagai persoalan yang mengemuka di zamannya. saya memahami para ulama genarasi salaf membuat definisi tentang iman,bahwa Iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang”. Itu adalah jawaban yang sempurna dengan titik tekan pada pengamalan iman seseorang, dan bagaimana seseorang memilihara konsistensi peningkatan amalnya dari hari ke hari. Pada masa generasi itu, keimanan dalam pengertian keyakinan kepada Allah sebagai pencipta sekaligus pembuat hukum yang dimiliki umat masih sangat tinggi, hanya amalnya yang sering dipengaruhi cinta dunia. Hampir tak ada orang islam saat itu yang meragukan hak Allah sebagai pembuat hukum sekaligus pengatur kehidupan. Namun ada banyak orang yang tergelincir karena penyakit wahn.

Namun, seiring dengan berputarnya waktu, masuknya pemikiran2 asing ke tubuh umat, persoalan umat ini menjadi sangat kompleks. Hingga keyakinannya pada Allah menjadi setengah-setengah. Ada orang yang meyakini bahwa Allah lah pencipta alam semesta, namun ia tidak meyakini Allah sebagai pengatur kehidupan dan pembuat hukum. Pada saat sholat ia menggunakan aturan2 allah, karena yakin 100% Allah menurunkan aturan tata cara sholat itu. Namun pada saat ia menjalani aktivitas sosial, ekonomi, dll ia tinggalkan aturan Allah, karena tidak meyakini bahwa Allah menurunkan hukum-Nya tentang itu. Di sinilah keimanan kepada Allah tidak boleh setengah-setengah. Dalam konteks ini lah, keimanan itu harus bulat 100%, tidak bertambah dan berkurang dalam meyakini Allah secara rububiyah, uluhiah, maupun Mulkiyah (hakimiyah). Simaklah kandungan Al fatihah dan An Naas tentang tiga hal ini. Di sini saya juga bisa memahami pendapat an Nabahani tentang definisi iman sebagai pembenaran yang pasti. Ketika kita membincangkan persoalan aqidah yang seperti ini, tentu definisi iman adalah “perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang” menjadi kurang tepat. Saya tidak menagtakan bahwa defini itu salah, tapi tolong lihat konteksnya secara proporsional.

Namun demikian, pembahasan tidak berhenti sampai di situ. dalam banyak kitab HT juga dibahas mengenai konsekuensi Iman. nah disini ukhti akan banyak memperoleh bahasan mengenai tafsir ayat yang terjemahnya kurang lebih “tidak lah mereka beriman hingga menjadikan engkau (muhammad) sebagai pemutus perkara diantara mereka.” Nah, ini lebih besar lagi konsekuensinya. Keimanan ternyata juga mensyaratkan untuk menjadikan Nabi sebagai pemutus perkara manusia.

mau nyambung lagi nih tentang pembahasan iman, dalam TQS An Nisa: 65: "Maka demi Rabbmu, tidaklah mereka beriman hingga menjadikan kamu (muhammad sebagai pemutus perkara di antara mereka...." jadi iman dalam konteks ini juga mensyaratkan pengakuan dan sikap menjadikan Rasul sebagai hakim atas berbagai perkara. apalagi bila mengingat asbab an nuzul ayat ini yang berkaitan dengan polemik antara zubair dan orang anshar mengenai pengairan tanah pertanian, sikap untuk menjadikan rasul sebagai hakim itu adalah untuk masalah2 yang bersifat sosial atau kehidupan sehari-hari tidak saja urusan ibadah mahdoh.

jadi, janganlah picik dengan keterbatasan ilmu kita untuk mudah memvonis salah/ benarnya seorang ulama.

berikutnya, soal ahlusunnah. Perlu diketahui bahwa "ahlusunnah" yang dimaksud dalam pembahasan qodho dan qodar bersama dengan jabariah dan qodariah tidaklah sama dengan ahlusunnah wal jamaah dalam hadits 73 golongan. "Ahlusunnah" dalam pembahasan qodho dan qodar, juga terbagi menjadi dua golongan, yakni Asyariah dan Maturidiah. Lalu mana yang betul2 ahlusunnah? apakah dua golongan itu termasuk yang 72 golongan atau yang 1 golongan? bagaimana jika saat ini ada sekumpulan orang yang membuat organisasi bernama "ahlusunnah", apakah otomatis dia akan menjadi golongan yang selamat? bahkan ekstremnya, bagaimana bila HT berubah namanya menjadi ahlusunnah, apa otomatis akan merubah sikap anda?

Pernyataan ukhti mardiah bahwa HT mengatakan rukun iman itu hanya 5, tanpa menyertakan takdir. Ini adalah fitnah yang keji! Lalu bagaimana anda menjelaskan pembahasan Materi Dasar Islam (sebuah buku seleksi awal- untuk Pra murakazah) yang mencantumkan hadits riwayat bukhori: "Coba ceritakan apa iman itu? lalu Rasulullah menjawab: Iman itu percaya kepada adanya Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para raul-Nya, hari kiamat, dan percaya kepada takdir baik dan buruknya berasal dari Allah". Saya justru ragu apakah anda benar-benar mengkaji buku ini atau tidak? sebab standar minimal sebelum masuk darisah, adalah mengkaji MDI ini.

untuk hal-hal lainnya, saya pikir mas syamsudin dll telah memberikan penjelasan yang sangat baik. Pada akhuna daryono mudah2an dapat merangkai berbagai jawaban yang berserak ini menjadi tulisan yang utuh dan enak dibaca.

wassalam.

Eko Cahyadi

Tuesday, July 25, 2006

Ass wr wb

Untuk Saudariku Seiman yang sedang mencari kebenaran Mardiyah Hayati. Saya tidak terlalu banyak bisa menulis surat yang panjang seperti anti. Tetapi mudah-mudahan bisa memberi sumbang saran untuk kita sama-sama menemukan kebenaran Islam sesungguhnya. Dan juga bermanfaat bagi teman-teman lain yang sedang mencari kebenaran.
Saudariku peristiwa yang anti alami sama persis dengan yang saya alami sekian tahun yang lalu. Berbagai kelompok pernah saya coba mengikuti kegiatannya, tetapi tidak pernah memuaskan pergolakan pemikiran saya, hingga akhirnya saya temukan Hizbut Tahrir ini sebagai pelabuhan hati saya yang mutaakhir Insya Allah. Memang untuk bergabung dengan Hizbut Tahrir tidak sembarangan orang bisa mengikutinya, karena mereka harus mengawalinya dengan memasuki pintu gerbang shiro'ul fikr terlebih dahulu, bila yang bersangkutan lolos insya Allah, ia tidak akan menjadi pengikut yang sekedar taqlid dengan taqlid buta, tetapi menjadi seorang pemikir pencari dan pejuang kebenaran yang ikhlas. Dalam hal ini saya tidak bermaksud menilai anti sebagai orang yang tidak ikhlas. Tidak, tetapi saya hanya mengajak anti untuk bertanya secara kritis dengan tahapan yang benar.
Benar secara syara' dan benar secara struktural, sehingga secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Benar secara syara yang saya maksud adalah benar dalam niatan mencari ilmunya dan benar dalam realita usahanya. Niat mencari ilmu hendaknya didasarkan pada ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena suudzon. Benar secara realita adalah benar dalam upaya pencariannya, yakni yang pertama mencari informasi pada yang bersangkutan dan yang berkompeten.
misalnya bila tidak puas dengan musrif, maka bisa minta penjelasan pada atasan musrif, bila juga kurang puas, bisa juga tanya ke yang lebih atasnya lagi kalau perlu hingga yang paling atas. Memang ini perlu waktu dan harus bersabar. Bila kita sudah berusaha seperti ini insyaAllah kita terbebas dari dosa, karena kita masih dalam masa pencarian dalam jalan Allah.
Ada beberapa hal yang perlu saya luruskan dalam surat anti, karena saya mendapati banyak kerancuan, yang mungkin dalam hal ini abti belum sempat mendapat jawaban dari berbagai sumber yang anti tanyai.
1. Tentang Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang anti maksud dalam Hadits, hal itu sebenarnya sesuatu yang berbeda dengan salah satu firqoh dari umat islam yang menisbahkan dirinya dengan nama Ahlus Sunah wal Jama'ah, dimana kelompok ini muncul sebagai antithesis dari munculnya kelompok-kelompok sebelumnya, akibat pengaruh aliran pemikiran filsafat dari masyarakat non islam. Dari studi hadits yang saya ketahui arti dari ahlu sunnah wal jama'ah sebenarnya adalah masyarakat islam yang masih berpegang teguh pada Al Quran dan As Sunah dan menetapi baiat pada pemimpin kaum muslimin yakni kholifah, dalam hal ini adalah masyarakat dalam Daulah Khilafah, yang tidak meufaroqoh, atau keluar dari ketaatan kepada kholifah, karena orang-orang yang keluar dari baiatnya pada kholifah itulah yang dianggap sebagai bughot dan bukan termasuk dalam Ahlus Sunah wal Jamaah. Terlalu banyak hadits yang menjelaskan masalah ini. Jadi tidak ada sangkut pautnya dengan firqoh Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
Pemikiran firqoh "ahlus Sunah wal Jama'ah" ini sangat kental dengan methodologi filsafat yang berasal dari Yunani, kelompok inilah yang dikecam oleh HT karena salah dalam methode memahami masalah keimanan. Dimana Rasulullah tidak pernah mengajarkan keimanan dengan menggunakan filsafat. Kelompok ini muncul sebagai tandingan dari kelompok atau firqoh-firqoh sebelumnya misalnya, mu'tazilah, murjiah, jabariyah, qodariyah, syiah dan lain-lain. Jadi kalau HT dianggap mengecam "Ahlus Sunnah", "Ahlus Sunnah" yang dimaksud itu adalah firqoh aliran teologi yang menamakan diri sebagai "Ahlus Sunnah wal Jamaah", bukan Ahlus Sunnah yang dijamin Allah masuk Surga di antara 73 golongan itu. Saran saya, untuk masalah ini anti baca buku dengan judul "Al Ghuroba', Firqoh Najiyah dan To'ifah Manshuroh".
2 Untuk masalah Dalil Ahad. Saran saya anti belajar Ulumul Hadits hingga khatam pada orang yang benar-benar faqih. Bahwa perbedaan pendapat tentang pemakaian Hadits Ahad untuk masalah-maslaah Aqidah, itu sebenarnya sudah terjadi sejak zaman ulama salaf juga. Setahu saya HT tidak pernah menolak Hadits Ahad.
"Menolak" dengan "tidak memakai" itu adalah kata yang berbeda. Kalau "menolak" itu 100 persen tidak meyakini. Tetapi bila "tidak memakai" dalam pembahasan Aqidah, ini adalah dikarenakan sikap wara' atau kehati-hatian saja. Hati-hati bukanlah tidak menerima.
Yang saya fahami adalah bahwa kita harus menempatkan Hadits Ahad sebagaimana kekuatan hadits itu sendiri.
Hal ini bukanlah kita tidak percaya pada Rasulullah, mohon anti berhati-hati dalam masalah ini, karena penjelasan anti cenderung menempatkan syabab HT sebagai orang-orang yang tidak meyakini Rasulullah.
Ulumul Hadits muncul akibat banyaknya pemalsuan Hadits, sehingga dari sinilah muncul kriteria-kriteria keshohihan suatu hadits. Jadi Syabab HT bukan tidak percaya pada Rasul tetapi lebih berhati-hati dalam mempelajari jalan riwayat suatu hadits. Kami di HT tidak pernah diajari untuk tidak meyakini siksa kubur, dajal, dan datangnya Imam Mahdi, kami hanya menempatkan hadits-hadits itu pada porsi sebenarnya menurut kaidah ulumul hadits. Jadi sebenarnya kami tidak pernah menolak Hadits Ahad, tetapi menempatkan Hadits itu sesuai kekuatan periwayatan Hadits tersebut.
3. Untuk masalah takdir, saya pernah berdialog dengan ustad saya sewaktu saya dipondok pesantren, insyaAllah pemahaman tentang takdir mereka tidak berbeda dengan apa yang disampaikan dalam halaqoh-halaqoh HT, namun sedikit berbeda dalam sistematika penyampaianya saja.
Dan ma'af dengan tidak bermaksud untuk taasub, menurut hemat saya justru sistematika yang disampaikan oleh HT adalah yang paling simple yang pernah saya terima. Dan dari pemahaman itu Alhamdulillah saya mempunyai keberanian yang luar bisa untuk memperjuangkan Agama ini dengan menyandarkan semua "Hasil" itu kehendak Allah dan semua "Usaha" itu adalah pilihan kita.
Sebenarnya bila anda mengkaji kitab-kitab lanjutan yang tidak mungkin diberikan kepada seorang darisah karena untuk mengkaji kitab ini memang harus ada pengantar dari kitab-kitab dasar pembinaan sebelumnya, akan terasa gambalang konsep tentang takdir ini.
misalnya dalam kita syahshiyah Islam jilid 1, dll.
Jadi mestinya anti harus bersabar sebentar untuk melanjutkan halaqoh sampai jenjang hizbiyah, baru antum bisa berkomentar.
4. Bila anti sudah memutuskan sebuah keputusan hendaknya anti menghargai ijtihad saudara anti yang lain (yang ada di HT) dengan tidak melakukan penulisan surat terbuka seperti ini, sebab ini akan menjadi fitnah bukan menjadi rahmat. Coba anti bayangkan pertama bagi pihak yang tidak senang kepada tindakan anti, anti akan di suudzoni banyak orang, dan itu memancing orang untuk berbuat dosa dengan berburuk sangka terhadap anti, Kedua bagi pihak yang bingung bersikap, semakin membuat orang itu bingung sehingga mereka menjadi orang yang tidak berbuat apa-apa bagi kejayaan umat ini, bagi pihak yang suka dengan tindakan anti (mungkin karena dasarnya sudah tidak senang dengan HT) semakin besarlah kebenciannya terhadap HT, sehingga mereka semakin jauh dari hidayah Allah, padahal HT adalah masih merupakan kelompok yang terhitung Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dimaksud dalam hadits, karena masih berpegang teguh pada ajaran Rasulullah dan giat memperjuangkannya, insyaAllah.
Maka nasihat saya bagi anti ketahuilah bila apa yang anti duga itu benar adanya, artinya "memang demikian"
HT itu, maka anti telah melakukan ghibah, yakni mengungkap aib saudaranya dihadapan umum, dan bila tidak benar apa yang anti sampaikan itu, maka ia akan terhitung sebagai fitnah, dan ingatlah dosa fitnah itu lebih besar dari dosa pembunuhan, karena dengan demikian anti telah memalingkan orang dari perjuangan menegakkan Risalah Allah. Bila orang-orang tersebut tidak bergabung dengan HT, tetapi bergabung dengan yang lain insyaAllah mereka masih selamat. Tetapi coba anti bayangkan bila mereka tidak kemana-mana, mereka pasif menjadi penonton saja dalam perjuangan penegakkan khilafah yang bisa mencegah pemusnahan kaum muslimin secara masal seperti ini, apakah anti tidak berasa berdosa, telah memalingkan orang dalam skala yang besar. Langkah yang benar adalah bila anti sudah tidak cocok dengan ijtihad HT maka segera lakukan muhasabah kepada struktur terdekat anti, agar ada tabayun, bila ini sudah mentok maka hargailah ini sebagai sebuah perbedaan Ijtihad yang masih dalam kerangka Islam dimana bila salah masih mendapatkan pahala satu. Dan tidak perlu diekspose di hadapan umum karena anti membuka aib saudara anti sendiri, atau anti sudah menganggap kami bukan saudara seiman lagi , waAllahu a'lam. Anti cukup mendiskusikan hal ini pada ruang tertutup.
5. Ada kesan bahwa anti tidak merasa bersalah dengan tidak mengikuti kelompok Dakwah yang lain dengan bangga anti katakan anti tidak kemana-mana. Ada pertanyaan buat muhasabah. Lantas apa yang anti bisa perbuat dengan seorang diri bagi umat ini? bila anti benar-benar seorang pencari kebenaran. Orang yang telah menemukan kebenaran konsekuensinya adalah dia harus berjuang menegakkan kebenaran yang ia yakini.
Dalam hal ini menegak Islam dan menyelamatkan umat Islam adalah hal yang paling penting. Dengan apa antum berjuang kalau tidak mengikuti salah satu kelompok dakwah? Berkelompok adalah manusiawi dan ini adalah fitroh manusia. Kita tidak bisa mengatakan saya tidak berkelompok. Sebab faktanya orang-orang yang memproklamirkan tidak perlu berkelompok dilapangan mereka berusaha mencari teman untuk tidak berkelompok, wal hasil mereka membentuk kelompok baru yakni kelompok orang-orang yang tidak punya kelompok.
Berkelompok itu tidak jelek ukhti, bahkan secara syar'i jadi wajib bila dakwah yang hukumnya wajib tidak akan sempurna tanpa bergabung dengan kelompok dakwah. Dan Ahlu Sunah itu akan menetapi langkah yang dilakukan oleh baginda tercinta Rasulullah yakni Dakwah bil Jama'ah. Bila anti benar ingin menjadi Ahlus Sunnah, maka ikuktilah langkah atau Sunnah Rasulullah. Jadi saran saya untuk yang terakhir, Saya senang bila anti mau mengkaji sampai detail pemikiran HT dan bersabar sampai mendapatkan pemikiran HT yang utuh sebagai seorang Hizbiyah, setelah itu bersikap.
Dan saya lebih senang juga bila anda bila anti tidak membiarkan diri diluar Jam'ah seorang diri berlama-lama, karena itu dosa. Segeralah anti mencari kelompok yang sesuai dengan pemikiran anti untuk memperjuangkan Islam melalui wadah yang baru. Jangan tinggalkan perjuangan ini dengan takut berkelompok.
Demikian nasihat saya, kuranglebihnya saya mohon ma'af, hanya pada Allah sajalah segala kebenaran disandarkan.

Dari Saudaramu seaqidah

Hamzah Abu Hamaas Al Mustadjabii Al Gresiki

Friday, June 30, 2006

Surat Cinta Terbuka

Untuk Saudara-saudaraku di

ﺣﺰﺐﺍﻠﺘﺤﺮﻴﺮ

Bismillâhirrohmânirrohîm...

Segala puji hanyalah milik Alloh semata. Kita memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan memohon ampunan-Nya. Kita berlindung kapada Alloh dari keburukan jiwa dan kejelekan perbuatan kita. Barangsiapa yang mendapatkan pertunjuk Alloh, maka dia tidak akan tersesat. Dan barang siapa yang tersesat, maka tidak ada petunjuk baginya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilâh selain Alloh dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad -sholat dan salam atasnya- adalah hamba dan rosul-Nya.

Alhamdulillah... ku panjatkan syukur pada-Nya atas petunjuk ini dan atas putusanku untuk lebih memilih cahaya daripada bertahan dalam kelompok ini. Subhanalloh! Saat pertama kali aku bergabung dengan kelompok ini, sama sekali tak tak pernah terlintas dalam benakku untuk meninggalkannya. Karena aku pun bergabung atas pilihan dan pertimbanganku sendiri. Namun takdir telah berkata lain. Ya, Alloh jualah yang menunjuki. Dia lah Sang Pemberi Hidayah.

Keputusan ini bukanlah keputusan dadakan yang kuambil hanya berdasarkan emosional semata. na’udzubillah. Keputusan ini kuambil setelah banyak pertanyaan yang bercokol dibenakku selama entah berapa bulan lamanya, juga berdasarkan pemikiran dan perbandingan selama itu pula. Dan semua itu dikuatkan dengan pertimbanganku selama lebih dari 2 pekan lamanya, hingga akhirnya kubulatkan tekadku untuk melepaskan semua yang selama ini kupegang. Dan sore itu (sabtu, 24 Juni 2006), namaku resmi di coret dari daftar darisah syarikah ini. Darisah?? Ya, aku memang masih darisah! Meskipun ada yang mengatakan, “Belum pernah ada darisah yang keluar”, tapi aku tak menyesal menjadi yang pertama menggoreskan sejarah. Karena aku keluar bukan tanpa alasan.

Sekali lagi, Alhamdulillah... Sujud syukurku pada-Mu, Ya Robb...

Selang beberapa hari setelah keputusan itu, aku segera memberi kabar pada beberapa akhwati fillah di berbagai daerah. Hasilnya, banyak yang menanyakan alasan mendasarku menempuh langkah ini. Dan untuk alasan inilah aku menulis ‘surat terbuka’ ini untuk saudaraku sekalian –- disamping hal ini memang telah ku niatkan sebagai bentuk tabayyun (penjelasan).

Semoga Alloh meluruskan niat dan caraku dalam beramar ma’ruf nahiy munkar.

Aku memutuskan untuk keluar bukan didasarkan pada ‘idari (aturan administrasi) yang kuakui memang memberatkan. Masalah ini bagiku masih dapat ditolelir (meskipun pada saat-saat tertentu memang nampak keterlaluan). Ya... demi perjuangan yang berat, maka selayaknya pengorbananpun haruslah sebanding. Tapi hal yang menjadi pertimbanganku adalah masalah yang tidak dapat ditolelir (setidaknya bagiku). Ya, ini masalah pokok, dimana masalah-masalah lain akan tumbuh dari akarnya. Ini masalah aqidah, keimanan. Lalu, bagaimana aku dapat berkompromi tentang hal ini?

Seperti yang sudah ku katakan, keputusanku ini melalui pemikiran dan perbandingan. Aku membandingkan konsep-konsep yang telah kuterima dari HT, dengan konsep-konsep yang aku baca dan dengar sebagai konsep yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Kenapa harus Ahlus Sunnah wal Jama’ah? Karena hanya golongan inilah yang telah dijamin oleh Rosululloh saw. sebagai satu-satunya golongan yang akan masuk Jannah diantara 72 golongan yang akan masuk an-Nar. Inilah golongan yang bermanhaj Salafush Sholih, bukan ‘Salafy’! (Sebagian sahabat ada yang mengira bahwa aku terpengaruh pemikiran ‘Salafy’. Padahal tidak demikian! Aku tidak akan bergabung dengan kelompok yang menyatakan bahwa para penguasa pelaku mukaffiroh sebagai pemimpin kaum muslimin. Na’udzubillah).

“Sesungguhnya ummatku berpecah-belah menjadi 73 golongan. Satu golongan di dalam al-Jannah dan 72 golongan di dalam an-Nar.” Ditanyakan kepada beliau: “Siapakah mereka (yang 1 golongan) itu ya Rosululloh?” Beliau menjawab: “Al Jama’ah”. [HR. Ibnu Majah, no.3992; Ibnu Abi ‘Ashim, no.63; dan Al Laikai, 1/101]

“Ummatku akan terpecah menjadi 73 golongan, seluruhnya akan masuk an-Nar, hanya 1 yang masuk al-Jannah.” Kami (para sahabat) bertanya, “Yang mana yang selamat?” Rosululloh saw. menjawab, “Yang mengikutiku dan para Shahabatku.” [HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah]

“...Barangsiapa yang menghendaki keluasan al-Jannah, maka berpegangteguhlah dengan Jama’ah.” [al-Hadits]

Ya, itulah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang merupakan satu-satunya firqoh an-najiyah. Bukan seperti vonis HT dalam kitab Nizhomul Islam (Bab al-Qodho’ wa al-Qodar), yang menyatakan bahwa golongan ini termasuk golongan yang salah dalam membahas masalah Qodho dan Qodar.

Mengenai benturan pemikiran yang kualami, hal yang paling mendasar (dan hal ini juga yang awalnya paling meragukanku untuk memutuskan keluar) adalah tentang definisi keimanan. Definisi Iman menurut Taqiyuddin an-Nabhani (dan definisi ini secara otomatis menjadi definisi yang ditabbani secara mutlak oleh HT) adalah “Pembenaran yang pasti yang sesuai dengan fakta dan disertai dengan dalil-dalil yang pasti kebenarannya. Definisi ini berbeda dengan definisi Iman yang telah menjadi ijma’ para ulama salaf, bahwa “Iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang”.

Memang, saat ku klarifikasi, tidak ada seorang pun dari HT yang mengingkari peranan lisan dan anggota badan sebagai konsekuensi dari ‘tashdiqul jazm’. Alhamdulillah. Dan pada awalnya aku pun berpikiran sama dengan semua a’dho HT yang telah kutanyai; “Selama maksud dan maknanya sama, lalu kenapa harus dipermasalahkan?”. Tapi kini aku mengerti, pertanyaan yang seharusnya bukanlah seperti itu, tapi justru sebaliknya, “Kalau tidak bertentangan, lalu kenapa kita harus membuat dan menetapkan definisi lain? Kenapa kita harus mengambil definisi An-nabhani dan meninggalkan definisi dari para Salafus Sholih? Bahkan bukankah ‘ijma Shahabat merupakan sumber hukum Islam yang ketiga? Lalu kenapa harus kita tinggalkan definisi Syar’i ini?”. Ditambah lagi, ternyata definisi “tashdiq” lebih dekat kepada definisi Iman menurut golongan murji’ah.

“Aku wasiatkan kalian (mengikuti) para sahabatku, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang kemudiannya... Barangsiapa yang menghendaki keluasan al-Jannah, maka berpegangteguhlah dengan Jama’ah.” [HR. Tirmidzi, Imam Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hibban; dan dishohihkan oleh Al-Albani]

Selain itu, aku tetap tidak puas dengan definisi Iman yang telah di tabbani oleh HT. Apalagi saat ku coba mendiskusikannya, tak ada pernyataan yang berhasil membuat kepalaku terangguk. Ini perihal ‘keimanan’ Iblis juga Yahudi dan Nasrani. Jika definisi Iman adalah “Pembenaran yang pasti yang sesuai dengan fakta dan disertai dengan dalil-dalil yang pasti kebenarannya”, maka Iblis layak menjadi salah satu makhluk yang paling beriman, begitupun dengan para ahli kitab. Bagaimana tidak, bukankah Iblis lebih mengerti akan ‘fakta dan dalil’ daripada kita?

Dari pernyataan yang kukemukakan ini, yang kudapat bukanlah jawaban, tapi justru pernyataan yang setengah pertanyaan; “Definisi Iman ini untuk siapa? Untuk manusia atau untuk Jin?!”. Jujur, aku kecewa. Tentu saja definisi ini untuk semua makhluk yang telah diberi-Nya 2 pilihan; Iman atau Kufur. Bahkan Alloh pun telah menyatakan bahwa Iblis termasuk orang-orang yang kafir [38:74].

Dan mengenai Yahudi dan Nasrani, bukankah Alloh telah menjelaskan bahwa mereka (ahlul kitab) mengenal Muhammad saw. seperti mengenal anak-anaknya sendiri[2:146]?! Tidakkah ini memebuktikan bahwa mereka sangat mengerti dengan ‘fakta dan dalil’ tentang Muhammad?

Ya, memang membingungkan jika definisinya ‘samar’ seperti itu. Namun, jika definisi Iman adalah perkataan (hati & lisan) dan perbuatan (hati & anggota badan), maka tak ada celah bagi para pembangkang itu untuk disebut beriman.

Cukuplah bagiku untuk berpegang pada definisi syar’i dari para salaful ummah. Dan biarlah kugigit keyakinan ini dengan gigi gerahamku.

Adapun mengenai masalah aqidah, aku berpikir panjang tentang hal ini. Tentang kehujjahan hadits ahad dalam masalah aqidah. Hal ini bukan hanya sekali dua kali kutanyakan, namun dari semua jawaban yang kuperoleh, aku belum juga sampai pada keyakinan (mungkin karena penjelasannya juga hanya oleh perorangan (khobar ahad?) J). Ya, aku tak mengerti mengapa hadits ahad yang shohih tidak bisa dijadikan pijakan aqidah. Padahal bukankah semua hadits yang shohih benar-benar berasal dari Rosul saw.? Lalu apa lagi yang diragukan? Tidakkah cukup bagi kita untuk mengambil apapun yang berasal dari Beliau dan meninggalkan apapun yang Beliau larang [59:7]? Bukankah Beliau tidak berkata selain berdasar wahyu yang berasal dari-Nya [53:4], [4:113]?

“...Dan (juga karena) Alloh telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu,..” [4:113]

Dalam Tafsir-nya, Abdullah Ibnu Abbas berkata, “Kitab dan hikmah bermakna Al-Qur’an dan as-Sunnah.”

“Ketahuilah sesungguhnya aku diberikan Al-Qur’an dan yang sejenisnya (Sunnah) bersama-sama dengannya.” [HR. Abu Daud, Ahmad, Ibnu Hibban, Tirmidzi, juga dalam Shohih Ibnu Majah]

Imam Uzai’i meriwayatkan, “Jibril a.s. biasa turun membawa Sunnah kepada Nabi Muhammad saw. sama dengan cara dia datang kepada Nabi membawa Al-Qur’an.” [Sunan ad-Darimi, Hadits no.587]

Sebagaimana yang telah dipahami bersama bahwa sebaik-baik ummat Muhammad saw. adalah para Shahabat. Beliau saw. telah menyatakan bahwa mereka tidak akan pernah bersatu dalam kesesatan. Bahkan Alloh telah mengabadikan mereka dalam firman-Nya sebagai orang-orang yang diridhoi-Nya [48:18].

“Umatku yang terbaik adalah para Shahabatku. Kemudian para pengikutnya (tabi’in) dan yang mengikuti pengikut mereka (tai’it tabi’in).” [al-Hadits]

Dan sejak zaman Shahabat hingga ulama salaf dan kholaf, mereka telah sepakat bahwa tidak ada pemisahan antara aqidah dan syariat (Dari banyak sumber yang kudapat, semuanya menyatakan demikian. Hanya buku “Absahkah Hadits Ahad” saja yang kudapati ‘sedikit’ bertentangan). Dan memang begitulah. Rosululloh saw. telah memerintahkan kita untuk berpegang pada Al-Qur’an dan al-Hadits (tanpa membedakan mutawattir atau ahad).

“Aku tinggalkan kepadamu dua perkara. Selama kalian tetap berpegang pada keduanya sepeninggalku, maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabulloh dan Sunnahku.” [Muwatta Imam Malik, hlm. 899 Hadits no.1395]

Lalu, saat tidak ada sumber lain selain Hadits Ahad, manakah yang lebih layak kita pegang; Ijtihad An-Nabhani atau hadits ahad yang diriwayatkan oleh Shahabat???

Orang-orang HT selalu berdalih (untuk tidak menggunakan Hadits ahad dalam masalah aqidah) dengan proses pembukuan Al-Qur’an, dimana pada saat itu Shahabat yang datang membawa sebuah riwayat harus menyertakan 2 orang saksi. Sungguh tidak demikian! Secara perorangan, shahabat tidaklah ma’shum. Inilah sebabnya ada beberapa riwayat Shahabat yang dicampakkan bahkan dibakar, meskipun berasal dari ummul mu’minin. Namun, jika para Shahabat telah berijma’, maka ijma’ mereka adalah ma’shum. Hal ini merupakan sebuah kewajaran sebagai konsekuensi dari keridhoan Alloh terhadap mereka, dan karena mereka tidak akan pernah bersatu dalam kesesatan. Disini perlu dipertegas tentang ijma’ shahabat. Apapun yang dikatakan atau dilakukan oleh Shahabat, selama hal itu tidak ditentang oleh Shahabat yang lain, maka hal ini sudah cukup untuk dinyatakan sebagai ijma’. Karena jika terjadi perselisihan dintara mereka, pasti hal itu akan segera di selesaikan.

Disamping itu, jika proses pembukuan Al-Qur’an digunakan sebagai dalih dalam masalah ini, maka ini justru menimbulkan pertanyaan baru buatku, “Bukankah 1 orang pembawa riwayat ditambah dengan 2 orang saksi pun belum memenuhi syarat mutawattir (dengan kata lain, merupakan Khobar Ahad)??” Ini memang masalah pembukuan Al-Qur’an, bukan hadits. Tapi jika teman-teman di HT menggunakannya untuk ‘menghukum’ hadits ahad, lalu apa salahnya aku menggunakannya untuk ‘membela’ hadits ahad?! Ya... tapi ini memang bukan alasan yang tepat J. Cukuplah alasan sebelumnya sebagai hujjah.

Mengenai hadits ahad yang hanya menimbulkan Zhon, memang beberapa ulama yang juga menyatakan demikian. Namun ternyata, secara bahasa Zhon sendiri memiliki dua makna; positif dan negatif. Zhon tidak selalu bermakna celaan, tetapi juga bisa bermakna pembenaran.

“Janganlah berselisih, sebab kalau kalian berselisih pendapat, perselisihan orang-orang yang sesudah kalian akan makin keras.” [Umar Ibnul Khoththob]

Dalam masalah ini, aku pun bertanya-tanya tentang keyakinan orang-orang HT yang begitu kuat akan tegaknya kembali Khilafah, yang didasarkan pada Hadits mutawatir bil ma’na. Aku bukannya meragukan tentang kembalinya Khilafah. Aku pun yakin bahwa itu adalah sebuah keniscayaan dari janji Alloh dan Rosul-Nya. Dan tidak ada yang meragukannya melainkan orang yang sesat atau golongan ingkar sunnah. Namun yang kupertanyakan adalah; “Mengapa orang-orang HT tidak yakin dengan kemunculan Dajjal, Imam Mahdi, dan Nabi Isa as. di akhir zaman?” Padahal hadits-hadits ahad tentang hal ini jauh lebih banyak daripada hadits ahad tentang kembalinya Khilafah. Dengan kata lain, hadits tentang hal ini lebih dapat dianggap mutawatir bil ma’na. Bahkan dalam salah satu bukunya, Nashiruddin al-Albani menjelaskan bahwa hadits tentang kemunculan Dajjal, Imam Mahdi, dan Isa as. adalah hadits yang mutawatir, tidak hanya secara makna tetapi juga secara lafdzi.

Begitu pula dengan permasalahan siksa kubur yang terdapat dalam hadits ahad dengan jumlah yang banyak. Tapi orang-orang HT belum juga yakin, bahkan saat kutanyakan mengenai ayat;

“... Fir’aun besarta kaumnya dikepung oleh adzab yang amat buruk. Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat...” [40: 45-46]

Dalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, disebutkan “Bila hari Kiamat telah datang, mereka berpindah dari siksa kubur menuju siksa neraka Jahannam.” [Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4. hlm. 166-167]

Memang, Ibnu Katsir hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Namun dalam masalah ilmu tafsir, aku rasa pendapat Ibnu Katsir lebih dapat diterima dari pada pendapat an-Nabhani. Apalagi Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut dengan berpegang pada hadits-hadits yang shohih. Pertanyaannya, dapatkan akal an-Nabhani menandinginya?

Umar ibnul Khoththob ra. Berkata, “Akan datang suatu masa, dimana seseorang akan mendebatmu mengenai syubhat dari Al-Qur’an (membuat takwil dan interpretasi). Debatlah mereka dengan Sunnah, orang-orang Ahlus Sunnah mengetahui bahwa kitabulloh (Al-Qur’an) lebih baik daripada yang lain.” [Imam Abdullah Ibnu Abdul Rahman ad-Darimi, Sunan ad-Darimi, Jld. 1, hlm. 49]

Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab berkata, “Hidup bersama sunnah lebih baik daripada ijtihad dalam bid’ah.” [Sunan ad-Darimi, Jilid 1, hlm. 72]

“Syaithan senantiasa bersama orang-orang yang jauh dari Al-Qur’an dan al-hadits” [al-Hadits]

Ditambah lagi, Syaikh Mahmud Syaltut (penulis buku “Al-Islam Aqidatan wa Syariatan”; beliau juga diduga sebagai salah satu tokoh yang mempengaruhi pemikiran Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani), di dalam buku kecilnya “Al-Bid’ah Asbaabuha wa Adhraaruha” beliau berkata,

“Sesungguhnya Alloh Ta’ala meletakkan suatu batas bagi akal, di mana kemampuannya dalam memahami hanya sampai di batasan tersebut. Alloh tidak memeberikan jalan baginya untuk mampu memahami segala sesuatu. Begitu banyak orang yang terjerumus ke dalam bid’ah melalui jalan ini. Sebab dengan kemampuan akal yang terbatas inilah banyak terjadi penolakan terhadap perkara-perkara ghaib yang sudah dijelaskan oleh hadits-hadits shohih; seperti adanya Shirath, Mizan, Mahsyar, nikmat dan adzab yang bersifat fisik, melihat kepada Alloh dan masalah-masalah lain yang tidak dapat dijangkau akal dan akal tak mungkin bisa dipaksakan untuk menjangkaunya. Diantaranya lagi adalah tentang masalah turunnya nabi Isa Alaihissalam yang terdapat dalam hadits-hadits shahih.”

Maka cukuplah bagiku untuk berpegang pada apa-apa yang berasal dari Robb-ku (Al-kitab dan Al-hikmah). Dan biarlah aqalku terpuaskan dengan tidak menyelisihi dalil; hatiku tentram dengan memenangkan kebenaran; dan fitrahku sesuai sebagai hamba yang taslim.

Mengenai masalah takdir, saat membahas bab ini dalam kitab Nizhomul Islam, memang muncul kebingungan-kebingungan kecil dalam benakku (salah satunya tentang pendapat Ahlus Sunnah yang dinyatakan oleh HT sebagai pendapat yang salah), namun semua itu bisa segera lenyap. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, kebingungan-kebingungan itu muncul kembali saat aku mengetahui sebuah pernyataan dari seorang syabab HT yang menyatakan bahwa rukun iman ada 5, tanpa menyertakan iman pada takdir. Dan hal ini pun terkait dengan permasalah kehujjahan hadits ahad dalam masalah aqidah.

Mungkin di sini aku tak akan berpanjang-panjang. Karena saat ku kemukakan pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang masalah takdir pun, seorang syabab HT menjawab, “Iya, memang begitu!”. Tapi yang tak kupahami adalah bahwa orang-orang HT tetap mengatakan bahwa Ahlus Sunnah memiliki pendapat yang salah. Atau pendapat Ahlus Sunnah hanya mengambil jalan tengah antara Jabariyah dan Mu’tazilah. Padahal, sungguh tidak demikian!

Ahlus Sunnah memandang bahwa manusia memiliki kehendak ([76:29], [78:39], [18:29]), namun segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan kehendak Alloh ([81:29], [11:34], [3:47], [36:82], [16:93]). Sesuai dengan tafsir Ibnu Katsir mengenai QS. Ash-Shoffat ayat 96, “Yaitu, menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat” [Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4. hlm. 36]. Hal ini berbeda dengan pendapat HT yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “...apa yang kamu kerjakan” adalah batu yang dijadikan sebagai berhala. Dan lagi-lagi alasannya adalah bahwa Ibnu Katsir hanya seorang manusia yang bisa berbuat salah. Maka lagi-lagi aku pun memberikan argumen yang sama terhadap pernyataan yang sama.

Dan semakin lama kupikirkan, rasanya pendapat HT lah yang mengambil jalan tengah dalam masalah ini. Dimana terdapat 2 daerah; yang dikuasai dan yang menguasai. Tidakkah ini sama saja dengan, ada daerah dimana manusia berkuasa sepenuhnya dan ada daerah yang manusia dipaksa di dalamnya. Atau dengan kata lain, ada daerah mu’tazilah dan ada daerah jabariyah.

Begitulah, sementara Ahlus Sunnah wal Jama’ah selalu mengedepankan dalil daripada aqal. Ahlus Sunnah tidak perlu menguak sirruLLoh, dengan mengungkapkan (dalam masalah yang ghoib; termasuk masalah takdir) sesuatu yang tidak terdapat dalam nash. Jika manusia menggunakan akal, tentu pendapat HT tentang adanya 2 daerah akan lebih mudah untuk dipahami dan diterima. Namun ternyata Alloh yang Maha Mengetahui terhadap hamba-hamba-Nya, tidak pernah mengabarkan hal ini sedikitpun. Bahkan utusan-Nya SAW. pun hanya memberikan motivasi beramal kepada para Shahabat yang bertanya mengenai hal ini, dan akan terdiam sambil menunjukkan ketidaksukaan jika Beliau ditanya tentang yang lebih jauh dari itu.

“Beramallah, sesungguhnya setiap orang akan diberi kemudahan menuju kepada apa yang telah ditetapkan (Alloh) untuknya. Orang yang beruntung (ahlul Jannah),ia akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan ahlul Jannah, sedang orang yang telah ditetapkan sebagai manusia celaka (ahlun Nar), ia akan digampangkan untuk mengerjakan amalan ahlunNar.” [HR. Bukhori dan Muslim]

Maka cukuplah bagiku untuk berpegang pada dalil-dalil shohih dalam hal yang ghoib ini.

Mengenai keputusanku untuk ‘pergi’ ini, banyak sahabat yang bertanya di mana tempat yang kemudian akan kugunakan untuk melabuhkan perjuanganku. Jawabnya adalah, aku tidak hendak (paling tidak sampai saat ini) bergabung dengan kelompok manapun, kecuali Al-Jama’ah. Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Seperti yang sudah kusebut di awal, Ahlus Sunnah wal Jama’ah bukanlah sebuah kelompok tertentu, melainkan 1 golongan yang selamat (firqoh an-najiyah) diantara 72 golongan yang celaka.

Rosululloh saw. bersabda, “Al Jama’ah adalah ahli ilmu. Alloh menganugerahkan kepada mereka hujjah atas orang-orang yang membuat orang-orang tersebut mengikuti mereka.”

Imam Bukhori berkata, “Al Jama’ah adalah ahli ilmu. Mereka mengikuti Rosululloh saw. dan para shahabat serta tabi’in.”

Imam Bukhori berkata, “Tidak perlu mereka berkumpul di suatu tempat, mereka selalu berpencar di tempat yang berbeda di seluruh penjuru dunia.” [Sharh Muslim, Jilid 13 hlm. 67]

Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu Fatawa (jld.3 hlm.358) berkata, “Mereka disebut Ahlus Sunnah karena mereka selalu mengikuti syariat dan disebut Jama’ah karena mereka bersatu meskipun tidak pernah bertemu.”

“Jamaah adalah sarana untuk menaati Alloh swt. Meskipun kamu hanya seorang diri.” [Ibnu Mas’ud ra.]

Kucukupkan surat cintaku sampai di sini. Sebenarnya ada beberapa pendapat HT yang lain, yang juga tidak kusetujui. Sehingga tidak mungkin aku tetap bertahan jika untuk benar-benar bergabung dengan syarikah ini (menjadi a’dho) tidak boleh ada perbedaan pendapat terhadap pendapat-pendapat yang telah di-tabbani oleh syarikah. Namun di sini aku hanya membahas masalah-masalah inti saja.

Semoga lembaran-lembaran yang membosankan, dari seorang yang miskin ilmu ini dapat berguna sebagaimana yang telah menjadi niat dan harapan di awalnya. Wallohu a’lam.

Salam cinta untuk ikhwah fillah sekalian. Inniy uhibbukum fillahi ta’ala...

Dari sudut Kota Hujan, 28 Juni 2006,

Mardiyah Hayati (mardhiyyatulhayah@yahoo.com)