Surat Cinta Terbuka
Untuk Saudara-saudaraku di
ﺣﺰﺐﺍﻠﺘﺤﺮﻴﺮ
Bismillâhirrohmânirrohîm...
Segala puji hanyalah milik Alloh semata. Kita memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan memohon ampunan-Nya. Kita berlindung kapada Alloh dari keburukan jiwa dan kejelekan perbuatan kita. Barangsiapa yang mendapatkan pertunjuk Alloh, maka dia tidak akan tersesat. Dan barang siapa yang tersesat, maka tidak ada petunjuk baginya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilâh selain Alloh dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad -sholat dan salam atasnya- adalah hamba dan rosul-Nya.
Alhamdulillah... ku panjatkan syukur pada-Nya atas petunjuk ini dan atas putusanku untuk lebih memilih cahaya daripada bertahan dalam kelompok ini. Subhanalloh! Saat pertama kali aku bergabung dengan kelompok ini, sama sekali tak tak pernah terlintas dalam benakku untuk meninggalkannya. Karena aku pun bergabung atas pilihan dan pertimbanganku sendiri. Namun takdir telah berkata lain. Ya, Alloh jualah yang menunjuki. Dia lah Sang Pemberi Hidayah.
Keputusan ini bukanlah keputusan dadakan yang kuambil hanya berdasarkan emosional semata. na’udzubillah. Keputusan ini kuambil setelah banyak pertanyaan yang bercokol dibenakku selama entah berapa bulan lamanya, juga berdasarkan pemikiran dan perbandingan selama itu pula. Dan semua itu dikuatkan dengan pertimbanganku selama lebih dari 2 pekan lamanya, hingga akhirnya kubulatkan tekadku untuk melepaskan semua yang selama ini kupegang. Dan sore itu (sabtu, 24 Juni 2006), namaku resmi di coret dari daftar darisah syarikah ini. Darisah?? Ya, aku memang masih darisah! Meskipun ada yang mengatakan, “Belum pernah ada darisah yang keluar”, tapi aku tak menyesal menjadi yang pertama menggoreskan sejarah. Karena aku keluar bukan tanpa alasan.
Sekali lagi, Alhamdulillah... Sujud syukurku pada-Mu, Ya Robb...
Selang beberapa hari setelah keputusan itu, aku segera memberi kabar pada beberapa akhwati fillah di berbagai daerah. Hasilnya, banyak yang menanyakan alasan mendasarku menempuh langkah ini. Dan untuk alasan inilah aku menulis ‘surat terbuka’ ini untuk saudaraku sekalian –- disamping hal ini memang telah ku niatkan sebagai bentuk tabayyun (penjelasan).
Semoga Alloh meluruskan niat dan caraku dalam beramar ma’ruf nahiy munkar.
Aku memutuskan untuk keluar bukan didasarkan pada ‘idari (aturan administrasi) yang kuakui memang memberatkan. Masalah ini bagiku masih dapat ditolelir (meskipun pada saat-saat tertentu memang nampak keterlaluan). Ya... demi perjuangan yang berat, maka selayaknya pengorbananpun haruslah sebanding. Tapi hal yang menjadi pertimbanganku adalah masalah yang tidak dapat ditolelir (setidaknya bagiku). Ya, ini masalah pokok, dimana masalah-masalah lain akan tumbuh dari akarnya. Ini masalah aqidah, keimanan. Lalu, bagaimana aku dapat berkompromi tentang hal ini?
Seperti yang sudah ku katakan, keputusanku ini melalui pemikiran dan perbandingan. Aku membandingkan konsep-konsep yang telah kuterima dari HT, dengan konsep-konsep yang aku baca dan dengar sebagai konsep yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Kenapa harus Ahlus Sunnah wal Jama’ah? Karena hanya golongan inilah yang telah dijamin oleh Rosululloh saw. sebagai satu-satunya golongan yang akan masuk Jannah diantara 72 golongan yang akan masuk an-Nar. Inilah golongan yang bermanhaj Salafush Sholih, bukan ‘Salafy’! (Sebagian sahabat ada yang mengira bahwa aku terpengaruh pemikiran ‘Salafy’. Padahal tidak demikian! Aku tidak akan bergabung dengan kelompok yang menyatakan bahwa para penguasa pelaku mukaffiroh sebagai pemimpin kaum muslimin. Na’udzubillah).
“Sesungguhnya ummatku berpecah-belah menjadi 73 golongan. Satu golongan di dalam al-Jannah dan 72 golongan di dalam an-Nar.” Ditanyakan kepada beliau: “Siapakah mereka (yang 1 golongan) itu ya Rosululloh?” Beliau menjawab: “Al Jama’ah”. [HR. Ibnu Majah, no.3992; Ibnu Abi ‘Ashim, no.63; dan Al Laikai, 1/101]
“Ummatku akan terpecah menjadi 73 golongan, seluruhnya akan masuk an-Nar, hanya 1 yang masuk al-Jannah.” Kami (para sahabat) bertanya, “Yang mana yang selamat?” Rosululloh saw. menjawab, “Yang mengikutiku dan para Shahabatku.” [HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah]
“...Barangsiapa yang menghendaki keluasan al-Jannah, maka berpegangteguhlah dengan Jama’ah.” [al-Hadits]
Ya, itulah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang merupakan satu-satunya firqoh an-najiyah. Bukan seperti vonis HT dalam kitab Nizhomul Islam (Bab al-Qodho’ wa al-Qodar), yang menyatakan bahwa golongan ini termasuk golongan yang salah dalam membahas masalah Qodho dan Qodar.
Mengenai benturan pemikiran yang kualami, hal yang paling mendasar (dan hal ini juga yang awalnya paling meragukanku untuk memutuskan keluar) adalah tentang definisi keimanan. Definisi Iman menurut Taqiyuddin an-Nabhani (dan definisi ini secara otomatis menjadi definisi yang ditabbani secara mutlak oleh HT) adalah “Pembenaran yang pasti yang sesuai dengan fakta dan disertai dengan dalil-dalil yang pasti kebenarannya”. Definisi ini berbeda dengan definisi Iman yang telah menjadi ijma’ para ulama salaf, bahwa “Iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang”.
Memang, saat ku klarifikasi, tidak ada seorang pun dari HT yang mengingkari peranan lisan dan anggota badan sebagai konsekuensi dari ‘tashdiqul jazm’. Alhamdulillah. Dan pada awalnya aku pun berpikiran sama dengan semua a’dho HT yang telah kutanyai; “Selama maksud dan maknanya sama, lalu kenapa harus dipermasalahkan?”. Tapi kini aku mengerti, pertanyaan yang seharusnya bukanlah seperti itu, tapi justru sebaliknya, “Kalau tidak bertentangan, lalu kenapa kita harus membuat dan menetapkan definisi lain? Kenapa kita harus mengambil definisi An-nabhani dan meninggalkan definisi dari para Salafus Sholih? Bahkan bukankah ‘ijma Shahabat merupakan sumber hukum Islam yang ketiga? Lalu kenapa harus kita tinggalkan definisi Syar’i ini?”. Ditambah lagi, ternyata definisi “tashdiq” lebih dekat kepada definisi Iman menurut golongan murji’ah.
“Aku wasiatkan kalian (mengikuti) para sahabatku, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang kemudiannya... Barangsiapa yang menghendaki keluasan al-Jannah, maka berpegangteguhlah dengan Jama’ah.” [HR. Tirmidzi, Imam Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hibban; dan dishohihkan oleh Al-Albani]
Selain itu, aku tetap tidak puas dengan definisi Iman yang telah di tabbani oleh HT. Apalagi saat ku coba mendiskusikannya, tak ada pernyataan yang berhasil membuat kepalaku terangguk. Ini perihal ‘keimanan’ Iblis juga Yahudi dan Nasrani. Jika definisi Iman adalah “Pembenaran yang pasti yang sesuai dengan fakta dan disertai dengan dalil-dalil yang pasti kebenarannya”, maka Iblis layak menjadi salah satu makhluk yang paling beriman, begitupun dengan para ahli kitab. Bagaimana tidak, bukankah Iblis lebih mengerti akan ‘fakta dan dalil’ daripada kita?
Dari pernyataan yang kukemukakan ini, yang kudapat bukanlah jawaban, tapi justru pernyataan yang setengah pertanyaan; “Definisi Iman ini untuk siapa? Untuk manusia atau untuk Jin?!”. Jujur, aku kecewa. Tentu saja definisi ini untuk semua makhluk yang telah diberi-Nya 2 pilihan; Iman atau Kufur. Bahkan Alloh pun telah menyatakan bahwa Iblis termasuk orang-orang yang kafir [38:74].
Dan mengenai Yahudi dan Nasrani, bukankah Alloh telah menjelaskan bahwa mereka (ahlul kitab) mengenal Muhammad saw. seperti mengenal anak-anaknya sendiri[2:146]?! Tidakkah ini memebuktikan bahwa mereka sangat mengerti dengan ‘fakta dan dalil’ tentang Muhammad?
Ya, memang membingungkan jika definisinya ‘samar’ seperti itu. Namun, jika definisi Iman adalah perkataan (hati & lisan) dan perbuatan (hati & anggota badan), maka tak ada celah bagi para pembangkang itu untuk disebut beriman.
Cukuplah bagiku untuk berpegang pada definisi syar’i dari para salaful ummah. Dan biarlah kugigit keyakinan ini dengan gigi gerahamku.
Adapun mengenai masalah aqidah, aku berpikir panjang tentang hal ini. Tentang kehujjahan hadits ahad dalam masalah aqidah. Hal ini bukan hanya sekali dua kali kutanyakan, namun dari semua jawaban yang kuperoleh, aku belum juga sampai pada keyakinan (mungkin karena penjelasannya juga hanya oleh perorangan (khobar ahad?) J). Ya, aku tak mengerti mengapa hadits ahad yang shohih tidak bisa dijadikan pijakan aqidah. Padahal bukankah semua hadits yang shohih benar-benar berasal dari Rosul saw.? Lalu apa lagi yang diragukan? Tidakkah cukup bagi kita untuk mengambil apapun yang berasal dari Beliau dan meninggalkan apapun yang Beliau larang [59:7]? Bukankah Beliau tidak berkata selain berdasar wahyu yang berasal dari-Nya [53:4], [4:113]?
“...Dan (juga karena) Alloh telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu,..” [4:113]
Dalam Tafsir-nya, Abdullah Ibnu Abbas berkata, “Kitab dan hikmah bermakna Al-Qur’an dan as-Sunnah.”
“Ketahuilah sesungguhnya aku diberikan Al-Qur’an dan yang sejenisnya (Sunnah) bersama-sama dengannya.” [HR. Abu Daud, Ahmad, Ibnu Hibban, Tirmidzi, juga dalam Shohih Ibnu Majah]
Imam Uzai’i meriwayatkan, “Jibril a.s. biasa turun membawa Sunnah kepada Nabi Muhammad saw. sama dengan cara dia datang kepada Nabi membawa Al-Qur’an.” [Sunan ad-Darimi, Hadits no.587]
Sebagaimana yang telah dipahami bersama bahwa sebaik-baik ummat Muhammad saw. adalah para Shahabat. Beliau saw. telah menyatakan bahwa mereka tidak akan pernah bersatu dalam kesesatan. Bahkan Alloh telah mengabadikan mereka dalam firman-Nya sebagai orang-orang yang diridhoi-Nya [48:18].
“Umatku yang terbaik adalah para Shahabatku. Kemudian para pengikutnya (tabi’in) dan yang mengikuti pengikut mereka (tai’it tabi’in).” [al-Hadits]
Dan sejak zaman Shahabat hingga ulama salaf dan kholaf, mereka telah sepakat bahwa tidak ada pemisahan antara aqidah dan syariat (Dari banyak sumber yang kudapat, semuanya menyatakan demikian. Hanya buku “Absahkah Hadits Ahad” saja yang kudapati ‘sedikit’ bertentangan). Dan memang begitulah. Rosululloh saw. telah memerintahkan kita untuk berpegang pada Al-Qur’an dan al-Hadits (tanpa membedakan mutawattir atau ahad).
“Aku tinggalkan kepadamu dua perkara. Selama kalian tetap berpegang pada keduanya sepeninggalku, maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabulloh dan Sunnahku.” [Muwatta Imam Malik, hlm. 899 Hadits no.1395]
Lalu, saat tidak ada sumber lain selain Hadits Ahad, manakah yang lebih layak kita pegang; Ijtihad An-Nabhani atau hadits ahad yang diriwayatkan oleh Shahabat???
Orang-orang HT selalu berdalih (untuk tidak menggunakan Hadits ahad dalam masalah aqidah) dengan proses pembukuan Al-Qur’an, dimana pada saat itu Shahabat yang datang membawa sebuah riwayat harus menyertakan 2 orang saksi. Sungguh tidak demikian! Secara perorangan, shahabat tidaklah ma’shum. Inilah sebabnya ada beberapa riwayat Shahabat yang dicampakkan bahkan dibakar, meskipun berasal dari ummul mu’minin. Namun, jika para Shahabat telah berijma’, maka ijma’ mereka adalah ma’shum. Hal ini merupakan sebuah kewajaran sebagai konsekuensi dari keridhoan Alloh terhadap mereka, dan karena mereka tidak akan pernah bersatu dalam kesesatan. Disini perlu dipertegas tentang ijma’ shahabat. Apapun yang dikatakan atau dilakukan oleh Shahabat, selama hal itu tidak ditentang oleh Shahabat yang lain, maka hal ini sudah cukup untuk dinyatakan sebagai ijma’. Karena jika terjadi perselisihan dintara mereka, pasti hal itu akan segera di selesaikan.
Disamping itu, jika proses pembukuan Al-Qur’an digunakan sebagai dalih dalam masalah ini, maka ini justru menimbulkan pertanyaan baru buatku, “Bukankah 1 orang pembawa riwayat ditambah dengan 2 orang saksi pun belum memenuhi syarat mutawattir (dengan kata lain, merupakan Khobar Ahad)??” Ini memang masalah pembukuan Al-Qur’an, bukan hadits. Tapi jika teman-teman di HT menggunakannya untuk ‘menghukum’ hadits ahad, lalu apa salahnya aku menggunakannya untuk ‘membela’ hadits ahad?! Ya... tapi ini memang bukan alasan yang tepat J. Cukuplah alasan sebelumnya sebagai hujjah.
Mengenai hadits ahad yang hanya menimbulkan Zhon, memang beberapa ulama yang juga menyatakan demikian. Namun ternyata, secara bahasa Zhon sendiri memiliki dua makna; positif dan negatif. Zhon tidak selalu bermakna celaan, tetapi juga bisa bermakna pembenaran.
“Janganlah berselisih, sebab kalau kalian berselisih pendapat, perselisihan orang-orang yang sesudah kalian akan makin keras.” [Umar Ibnul Khoththob]
Dalam masalah ini, aku pun bertanya-tanya tentang keyakinan orang-orang HT yang begitu kuat akan tegaknya kembali Khilafah, yang didasarkan pada Hadits mutawatir bil ma’na. Aku bukannya meragukan tentang kembalinya Khilafah. Aku pun yakin bahwa itu adalah sebuah keniscayaan dari janji Alloh dan Rosul-Nya. Dan tidak ada yang meragukannya melainkan orang yang sesat atau golongan ingkar sunnah. Namun yang kupertanyakan adalah; “Mengapa orang-orang HT tidak yakin dengan kemunculan Dajjal, Imam Mahdi, dan Nabi Isa as. di akhir zaman?” Padahal hadits-hadits ahad tentang hal ini jauh lebih banyak daripada hadits ahad tentang kembalinya Khilafah. Dengan kata lain, hadits tentang hal ini lebih dapat dianggap mutawatir bil ma’na. Bahkan dalam salah satu bukunya, Nashiruddin al-Albani menjelaskan bahwa hadits tentang kemunculan Dajjal, Imam Mahdi, dan Isa as. adalah hadits yang mutawatir, tidak hanya secara makna tetapi juga secara lafdzi.
Begitu pula dengan permasalahan siksa kubur yang terdapat dalam hadits ahad dengan jumlah yang banyak. Tapi orang-orang HT belum juga yakin, bahkan saat kutanyakan mengenai ayat;
“... Fir’aun besarta kaumnya dikepung oleh adzab yang amat buruk. Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat...” [40: 45-46]
Dalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, disebutkan “Bila hari Kiamat telah datang, mereka berpindah dari siksa kubur menuju siksa neraka Jahannam.” [Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4. hlm. 166-167]
Memang, Ibnu Katsir hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Namun dalam masalah ilmu tafsir, aku rasa pendapat Ibnu Katsir lebih dapat diterima dari pada pendapat an-Nabhani. Apalagi Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut dengan berpegang pada hadits-hadits yang shohih. Pertanyaannya, dapatkan akal an-Nabhani menandinginya?
Umar ibnul Khoththob ra. Berkata, “Akan datang suatu masa, dimana seseorang akan mendebatmu mengenai syubhat dari Al-Qur’an (membuat takwil dan interpretasi). Debatlah mereka dengan Sunnah, orang-orang Ahlus Sunnah mengetahui bahwa kitabulloh (Al-Qur’an) lebih baik daripada yang lain.” [Imam Abdullah Ibnu Abdul Rahman ad-Darimi, Sunan ad-Darimi, Jld. 1, hlm. 49]
Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab berkata, “Hidup bersama sunnah lebih baik daripada ijtihad dalam bid’ah.” [Sunan ad-Darimi, Jilid 1, hlm. 72]
“Syaithan senantiasa bersama orang-orang yang jauh dari Al-Qur’an dan al-hadits” [al-Hadits]
Ditambah lagi, Syaikh Mahmud Syaltut (penulis buku “Al-Islam Aqidatan wa Syariatan”; beliau juga diduga sebagai salah satu tokoh yang mempengaruhi pemikiran Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani), di dalam buku kecilnya “Al-Bid’ah Asbaabuha wa Adhraaruha” beliau berkata,
“Sesungguhnya Alloh Ta’ala meletakkan suatu batas bagi akal, di mana kemampuannya dalam memahami hanya sampai di batasan tersebut. Alloh tidak memeberikan jalan baginya untuk mampu memahami segala sesuatu. Begitu banyak orang yang terjerumus ke dalam bid’ah melalui jalan ini. Sebab dengan kemampuan akal yang terbatas inilah banyak terjadi penolakan terhadap perkara-perkara ghaib yang sudah dijelaskan oleh hadits-hadits shohih; seperti adanya Shirath, Mizan, Mahsyar, nikmat dan adzab yang bersifat fisik, melihat kepada Alloh dan masalah-masalah lain yang tidak dapat dijangkau akal dan akal tak mungkin bisa dipaksakan untuk menjangkaunya. Diantaranya lagi adalah tentang masalah turunnya nabi Isa Alaihissalam yang terdapat dalam hadits-hadits shahih.”
Maka cukuplah bagiku untuk berpegang pada apa-apa yang berasal dari Robb-ku (Al-kitab dan Al-hikmah). Dan biarlah aqalku terpuaskan dengan tidak menyelisihi dalil; hatiku tentram dengan memenangkan kebenaran; dan fitrahku sesuai sebagai hamba yang taslim.
Mengenai masalah takdir, saat membahas bab ini dalam kitab Nizhomul Islam, memang muncul kebingungan-kebingungan kecil dalam benakku (salah satunya tentang pendapat Ahlus Sunnah yang dinyatakan oleh HT sebagai pendapat yang salah), namun semua itu bisa segera lenyap. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, kebingungan-kebingungan itu muncul kembali saat aku mengetahui sebuah pernyataan dari seorang syabab HT yang menyatakan bahwa rukun iman ada 5, tanpa menyertakan iman pada takdir. Dan hal ini pun terkait dengan permasalah kehujjahan hadits ahad dalam masalah aqidah.
Mungkin di sini aku tak akan berpanjang-panjang. Karena saat ku kemukakan pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang masalah takdir pun, seorang syabab HT menjawab, “Iya, memang begitu!”. Tapi yang tak kupahami adalah bahwa orang-orang HT tetap mengatakan bahwa Ahlus Sunnah memiliki pendapat yang salah. Atau pendapat Ahlus Sunnah hanya mengambil jalan tengah antara Jabariyah dan Mu’tazilah. Padahal, sungguh tidak demikian!
Ahlus Sunnah memandang bahwa manusia memiliki kehendak ([76:29], [78:39], [18:29]), namun segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan kehendak Alloh ([81:29], [11:34], [3:47], [36:82], [16:93]). Sesuai dengan tafsir Ibnu Katsir mengenai QS. Ash-Shoffat ayat 96, “Yaitu, menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat” [Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4. hlm. 36]. Hal ini berbeda dengan pendapat HT yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “...apa yang kamu kerjakan” adalah batu yang dijadikan sebagai berhala. Dan lagi-lagi alasannya adalah bahwa Ibnu Katsir hanya seorang manusia yang bisa berbuat salah. Maka lagi-lagi aku pun memberikan argumen yang sama terhadap pernyataan yang sama.
Dan semakin lama kupikirkan, rasanya pendapat HT lah yang mengambil jalan tengah dalam masalah ini. Dimana terdapat 2 daerah; yang dikuasai dan yang menguasai. Tidakkah ini sama saja dengan, ada daerah dimana manusia berkuasa sepenuhnya dan ada daerah yang manusia dipaksa di dalamnya. Atau dengan kata lain, ada daerah mu’tazilah dan ada daerah jabariyah.
Begitulah, sementara Ahlus Sunnah wal Jama’ah selalu mengedepankan dalil daripada aqal. Ahlus Sunnah tidak perlu menguak sirruLLoh, dengan mengungkapkan (dalam masalah yang ghoib; termasuk masalah takdir) sesuatu yang tidak terdapat dalam nash. Jika manusia menggunakan akal, tentu pendapat HT tentang adanya 2 daerah akan lebih mudah untuk dipahami dan diterima. Namun ternyata Alloh yang Maha Mengetahui terhadap hamba-hamba-Nya, tidak pernah mengabarkan hal ini sedikitpun. Bahkan utusan-Nya SAW. pun hanya memberikan motivasi beramal kepada para Shahabat yang bertanya mengenai hal ini, dan akan terdiam sambil menunjukkan ketidaksukaan jika Beliau ditanya tentang yang lebih jauh dari itu.
“Beramallah, sesungguhnya setiap orang akan diberi kemudahan menuju kepada apa yang telah ditetapkan (Alloh) untuknya. Orang yang beruntung (ahlul Jannah),ia akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan ahlul Jannah, sedang orang yang telah ditetapkan sebagai manusia celaka (ahlun Nar), ia akan digampangkan untuk mengerjakan amalan ahlunNar.” [HR. Bukhori dan Muslim]
Maka cukuplah bagiku untuk berpegang pada dalil-dalil shohih dalam hal yang ghoib ini.
Mengenai keputusanku untuk ‘pergi’ ini, banyak sahabat yang bertanya di mana tempat yang kemudian akan kugunakan untuk melabuhkan perjuanganku. Jawabnya adalah, aku tidak hendak (paling tidak sampai saat ini) bergabung dengan kelompok manapun, kecuali Al-Jama’ah. Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Seperti yang sudah kusebut di awal, Ahlus Sunnah wal Jama’ah bukanlah sebuah kelompok tertentu, melainkan 1 golongan yang selamat (firqoh an-najiyah) diantara 72 golongan yang celaka.
Rosululloh saw. bersabda, “Al Jama’ah adalah ahli ilmu. Alloh menganugerahkan kepada mereka hujjah atas orang-orang yang membuat orang-orang tersebut mengikuti mereka.”
Imam Bukhori berkata, “Al Jama’ah adalah ahli ilmu. Mereka mengikuti Rosululloh saw. dan para shahabat serta tabi’in.”
Imam Bukhori berkata, “Tidak perlu mereka berkumpul di suatu tempat, mereka selalu berpencar di tempat yang berbeda di seluruh penjuru dunia.” [Sharh Muslim, Jilid 13 hlm. 67]
Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu Fatawa (jld.3 hlm.358) berkata, “Mereka disebut Ahlus Sunnah karena mereka selalu mengikuti syariat dan disebut Jama’ah karena mereka bersatu meskipun tidak pernah bertemu.”
“Jamaah adalah sarana untuk menaati Alloh swt. Meskipun kamu hanya seorang diri.” [Ibnu Mas’ud ra.]
Kucukupkan surat cintaku sampai di sini. Sebenarnya ada beberapa pendapat HT yang lain, yang juga tidak kusetujui. Sehingga tidak mungkin aku tetap bertahan jika untuk benar-benar bergabung dengan syarikah ini (menjadi a’dho) tidak boleh ada perbedaan pendapat terhadap pendapat-pendapat yang telah di-tabbani oleh syarikah. Namun di sini aku hanya membahas masalah-masalah inti saja.
Semoga lembaran-lembaran yang membosankan, dari seorang yang miskin ilmu ini dapat berguna sebagaimana yang telah menjadi niat dan harapan di awalnya. Wallohu a’lam.
Salam cinta untuk ikhwah fillah sekalian. Inniy uhibbukum fillahi ta’ala...
Dari sudut Kota Hujan, 28 Juni 2006,
Mardiyah Hayati (mardhiyyatulhayah@yahoo.com)