Tuesday, August 01, 2006

Untuk ukhti mardiyah dan kawan2 yg budiman

ukhti mardiyah dan kawan2 yg budiman,

pertama kali, saya ingin mengucapkan selamat pada ukhti mardiah yang telah melalui proses berfikir dalam mencari kebenaran (sebuah tradisi positif yang dikembangkan dalam hizb) meskipun hasil atau kesimpulan yang diambil berbeda. saya menghargai kesimpulan yang ukhti ambil. mudah2an ukhti juga udah sholat istiharah untuk mengambil jalan tersebut, jadi kalo yang dirasa adalah hidayah Allah semoga memang bener datangnya dari Allah dan bukan bisikan syetan atau hawa nafsu.

kedua, tulisan ini adalah tanggapan spontan saya yang sekedar secuil potongan puzle di tengah mozaik khazanah pemikiran yang begitu luas dalam mencari kebenaran.

saya akan langsung saja masuk pada point2 yang membimbangkan ukhti pada mulanya, yakni tentang definisi iman. dari surat ukti terlihat bahwa ukhti memposisikan berbagai pendapat/ definisi para ulama tentang iman secara diametral, seperti penyataan ini: Tapi kini aku mengerti, pertanyaan yang seharusnya bukanlah seperti itu, tapi justru sebaliknya, “Kalau tidak bertentangan, lalu kenapa kita harus membuat dan menetapkan definisi lain? Kenapa kita harus mengambil definisi An-nabhani dan meninggalkan definisi dari para Salafus Sholih? Bahkan bukankah ‘ijma Shahabat merupakan sumber hukum Islam yang ketiga? Lalu kenapa harus kita tinggalkan definisi Syar’i ini?”. Ditambah lagi, ternyata definisi “tashdiq” lebih dekat kepada definisi Iman menurut golongan murji’ah.

saya tidak meragukan upaya ukhti untuk mencari ilmu, hanya saja saya lihat ada kerancuan ukhti dalam menempatkan berbagai ilmu yang dimiliki dalam konteks yang tidak tepat. tahukah ukhti, ketika imam ali ditanya tentang sebuah persoalan (kalo saya tidak salah tentang keutamaan harta atau ilmu) beliau menjawab dengan 10 jawaban berbeda pada orang yang berbeda. perbedaan jawaban itu tidak menunjukan ketidakkonsistenan atau bias namun justru menunjukan keluasan ilmu beliau. demikian pula, ketika Rasul ditanya tentang iman, maka jawaban rasul pun sangat beragam. jawaban2 tersebut diberikan secara berbeda kepada orang yang berbeda dengan titik tekan masing-masing sesuai kondisi orang yang bertanya. ada banyak hadits tentang iman. salah satu contohnya, rasul pernah menyampaikan: La yu'minu akhadukum hatta yukhibba li akhiihi ma yukhibbu linafsihi. terjemahan bebasnya: tidaklah beriman seorang diantara kalian hingga mencintai saudaranya seperti mencintai diri kalian sendiri. apa pendapat ukhti tentang hadits ini? bukankah dapat ditarik suatu pemahaman bahwa rasa cinta pada saudara kita juga menjadi syarat keimanan? lalu bagaimana dengan muslim yang egois, tidak peduli dengan saudaranya, tapi rajin beribadah? apakah berarti tidak beriman? oleh karena itu terjemahan tsb diperhalus oleh para ulama menjadi "tidak sempurna iman seseorang hingga....."

bila kita dapat memahami 10 jawaban seorang imam ali yang berbeda2 tentang satu persoalan, sebagai kekayaan ilmu, seharusnya kita dapat lebih mentoleransi perbedaan jawaban definisi tentang iman yang diberikan oleh dua orang yang berbeda pada zaman yang berbeda dengan alasan yang sama (kekayaan khazanah islam). jadi persoalannya bukan pada: lalu jawaban mana yang benar? namun jawaban mana yang tepat dalam konteks masalah yang tepat?

Definisi iman sebagai tasdiqul jazm (pembenaran yang pasti) diulas oleh an nabhani dalam bab-bab awal tentang aqidah. dalam hal ini definisi tersebut memberikan tekanan pada batasan antara iman dan kufur. seseorang harus meyakini dan membenarkan secara pasti (tanpa ada keraguan) tentang sesuatu yang diimaninya. Dalam banyak riwayat hadits, kita mengetahui bahwa di akherat kelak, orang-orang yang berbuat maksiyat dan bertempat di neraka akan diberikan balasan sesuai amalannya, dan akan dicari yang masih memiliki iman, untuk akhirnya diselamatkan. bagaimana kita mensikapi ini bila definisi yang digunakan adalah sesuatu yang diyakini, diucapkan, dan diamalkan? sementara amalan orang2 tsb justru maksiyat. namun Allah berjanji akan mengangkat/ menyelematkan mereka yang masih memiliki iman. Artinya, iman dalam konteks ini menjadi batasan apakah seseorang meyakini/ membenarkan secara pasti/ tak ada keraguan terhadap eksistensi Allah, membenarkan bahwa Allah lah penciptanya, pembuat hukum, pengatur kehidupan...meski dalam prakteknya ia menjadi dzolim atau fasik.

Saya memahami jawaban definisi iman para ulama yang beragam boleh jadi dipengaruhi titik tekan perhatian masing-masing menghadapi berbagai persoalan yang mengemuka di zamannya. saya memahami para ulama genarasi salaf membuat definisi tentang iman,bahwa Iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang”. Itu adalah jawaban yang sempurna dengan titik tekan pada pengamalan iman seseorang, dan bagaimana seseorang memilihara konsistensi peningkatan amalnya dari hari ke hari. Pada masa generasi itu, keimanan dalam pengertian keyakinan kepada Allah sebagai pencipta sekaligus pembuat hukum yang dimiliki umat masih sangat tinggi, hanya amalnya yang sering dipengaruhi cinta dunia. Hampir tak ada orang islam saat itu yang meragukan hak Allah sebagai pembuat hukum sekaligus pengatur kehidupan. Namun ada banyak orang yang tergelincir karena penyakit wahn.

Namun, seiring dengan berputarnya waktu, masuknya pemikiran2 asing ke tubuh umat, persoalan umat ini menjadi sangat kompleks. Hingga keyakinannya pada Allah menjadi setengah-setengah. Ada orang yang meyakini bahwa Allah lah pencipta alam semesta, namun ia tidak meyakini Allah sebagai pengatur kehidupan dan pembuat hukum. Pada saat sholat ia menggunakan aturan2 allah, karena yakin 100% Allah menurunkan aturan tata cara sholat itu. Namun pada saat ia menjalani aktivitas sosial, ekonomi, dll ia tinggalkan aturan Allah, karena tidak meyakini bahwa Allah menurunkan hukum-Nya tentang itu. Di sinilah keimanan kepada Allah tidak boleh setengah-setengah. Dalam konteks ini lah, keimanan itu harus bulat 100%, tidak bertambah dan berkurang dalam meyakini Allah secara rububiyah, uluhiah, maupun Mulkiyah (hakimiyah). Simaklah kandungan Al fatihah dan An Naas tentang tiga hal ini. Di sini saya juga bisa memahami pendapat an Nabahani tentang definisi iman sebagai pembenaran yang pasti. Ketika kita membincangkan persoalan aqidah yang seperti ini, tentu definisi iman adalah “perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang” menjadi kurang tepat. Saya tidak menagtakan bahwa defini itu salah, tapi tolong lihat konteksnya secara proporsional.

Namun demikian, pembahasan tidak berhenti sampai di situ. dalam banyak kitab HT juga dibahas mengenai konsekuensi Iman. nah disini ukhti akan banyak memperoleh bahasan mengenai tafsir ayat yang terjemahnya kurang lebih “tidak lah mereka beriman hingga menjadikan engkau (muhammad) sebagai pemutus perkara diantara mereka.” Nah, ini lebih besar lagi konsekuensinya. Keimanan ternyata juga mensyaratkan untuk menjadikan Nabi sebagai pemutus perkara manusia.

mau nyambung lagi nih tentang pembahasan iman, dalam TQS An Nisa: 65: "Maka demi Rabbmu, tidaklah mereka beriman hingga menjadikan kamu (muhammad sebagai pemutus perkara di antara mereka...." jadi iman dalam konteks ini juga mensyaratkan pengakuan dan sikap menjadikan Rasul sebagai hakim atas berbagai perkara. apalagi bila mengingat asbab an nuzul ayat ini yang berkaitan dengan polemik antara zubair dan orang anshar mengenai pengairan tanah pertanian, sikap untuk menjadikan rasul sebagai hakim itu adalah untuk masalah2 yang bersifat sosial atau kehidupan sehari-hari tidak saja urusan ibadah mahdoh.

jadi, janganlah picik dengan keterbatasan ilmu kita untuk mudah memvonis salah/ benarnya seorang ulama.

berikutnya, soal ahlusunnah. Perlu diketahui bahwa "ahlusunnah" yang dimaksud dalam pembahasan qodho dan qodar bersama dengan jabariah dan qodariah tidaklah sama dengan ahlusunnah wal jamaah dalam hadits 73 golongan. "Ahlusunnah" dalam pembahasan qodho dan qodar, juga terbagi menjadi dua golongan, yakni Asyariah dan Maturidiah. Lalu mana yang betul2 ahlusunnah? apakah dua golongan itu termasuk yang 72 golongan atau yang 1 golongan? bagaimana jika saat ini ada sekumpulan orang yang membuat organisasi bernama "ahlusunnah", apakah otomatis dia akan menjadi golongan yang selamat? bahkan ekstremnya, bagaimana bila HT berubah namanya menjadi ahlusunnah, apa otomatis akan merubah sikap anda?

Pernyataan ukhti mardiah bahwa HT mengatakan rukun iman itu hanya 5, tanpa menyertakan takdir. Ini adalah fitnah yang keji! Lalu bagaimana anda menjelaskan pembahasan Materi Dasar Islam (sebuah buku seleksi awal- untuk Pra murakazah) yang mencantumkan hadits riwayat bukhori: "Coba ceritakan apa iman itu? lalu Rasulullah menjawab: Iman itu percaya kepada adanya Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para raul-Nya, hari kiamat, dan percaya kepada takdir baik dan buruknya berasal dari Allah". Saya justru ragu apakah anda benar-benar mengkaji buku ini atau tidak? sebab standar minimal sebelum masuk darisah, adalah mengkaji MDI ini.

untuk hal-hal lainnya, saya pikir mas syamsudin dll telah memberikan penjelasan yang sangat baik. Pada akhuna daryono mudah2an dapat merangkai berbagai jawaban yang berserak ini menjadi tulisan yang utuh dan enak dibaca.

wassalam.

Eko Cahyadi

No comments: