Saturday, August 26, 2006

Bergerak Untuk Berubah!

Sebuah kenangan di SMA ku tercinta;

“Setiap gerakan pasti mengakibatkan perubahan”

[master of physic in SMANDA Bogor; 31-03-2006]

Ya, ku rasa aku setuju!
Karena perubahan adalah sebuah keniscayaan.

Kata seorang temanku, “Diam itu ga asyik!”.
Bahkan ada jg yg bilang, “Diam berarti mati”. Wuih... syerem amat.

Padahal salah satu award yang kuperoleh di kelas adalah “Terpendiem”. Gimana donk???!!!

Ah... ga papa!

Eits, ini bukan berarti aku ga mendambakan perubahan. Ini jg bukan berarti aku menginginkan kematian. Iiihhh.... bekal ku masih secuil...!!!

Tapi aku juga punya prinsip!
Seperti yg dikatakan oleh idolaku, Muhammad saw, dalam sebuah sabdanya yang diriwayatkan oleh Mutafaq ‘Alayh: “Barang siapa yg beriman kpd Alloh & hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam”.
Maka ketika banyak ghibah, cela, dan tak ada pembicaraan bermakna, aku pun memilih diam di kelas. Tapi bukan berarti ga asyik, apalagi mati.
Aku asyik dalam diamku & aku pun hidup dalam diamku!
Ketika dengan diam, aku menemukan ide, aku merasa asyik dengan diamku. Dan aku merasa senang berlama-lama bersamanya.
Ketika dengan diam, aku tenang bersama Kekasihku, aku pun menjadi begitu hidup dengannya. Dan aku tak mau seorang pun mengganggu kehidupanku yang indah itu.

Namun seasyik apapun & sehidup apapun, diam tetap tak boleh menjadi pilihan utama. Karena tetap, yg nomor satu adalah berkata baik (benar)! Maka bergerak untuk berdakwah tetap lebih asyik & lebih hidup daripada diam. Karena sekecil apapun gerak kita, pasti akan menghasilkan perubahan.

AYO BERGERAK! LAKUKAN PERUBAHAN!!!

Tuesday, August 01, 2006

Apakah Lahir dari Aqidah yang Sesat?

Bismillahirohmanirrohin

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dialah yang telah mengutus Rasulnya dengan membawa petunjuk dan agama yang Haq, untuk dimenangkan-Nya atas semua agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah hamba dan Rasul-Nya. Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran sebagai kebenaran kepada kami dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kebatilan sebagai kebatilan kepada kami dan berikanlah kami kekuatan untuk menjauhinya. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu agar menyatukan hati-hati kami dalam kebaikan, dan Engkau damaikan perselisihan diantara kami dan Engkau tunjukkan jalan keselamatan kepada kami. Amin.

Hizbut Tahrir, yang didirikan oleh Syeh Taqiyuddin An-Nabhani pada tahun 1953. keberadaannya saat ini tersebar di penjuru dunia (hampir di 40 negara). Dan sekarang tetap eksis, walaupun penguasa-penguasa negeri-negeri muslim melakukan tindakan-tindakan represif untuk menghentikan laju dakwahnya. Di Indonesia, perkembangannya kian hari kian pesat, jism (tubuhnya) semakin besar, tapi mudah-mudahan dengan tubuh yang semakin besar tidak membuat HT sakit-sakitan atau gerakannya menjadi lamban. Kunci keberhasilan HT adalah berpegangnya HT pada ideologi (mabda) Islam dan adanya kullun fikriyun wa syu’uriyun yang dibangun dengan adanya tabbani (adopsi) pemikiran yang berkaitan dengan thoriqoh (metode) dakwah dan ri’ayatusy syu’unil ummah (hal-hal yang terkait dengan pengaturan urusan umat, seperti sistem ekonomi, sistem politik dan struktur pemerintahan, sistem pergaulan, dll). Dan untuk hal-hal yang tidak ditabbani oleh HT (seperti masalah ibadah), seseorang boleh mengambil pendapat dari madzhab manapun. Dengan berbekal ideologi dan kullun fikriyun wa syu’uriyun inilah, HT menjadi sebuah kekuasaan raksasa dan pabrik pemikiran Islam yang menginspirasi jutaan kaum muslim di seluruh dunia untuk menegakkan kembali kemuliaan Islam dan kaum muslimin serta mengupayakan untuk menghancurkan dominasi kaum kufar di negeri-negeri muslim. Sehingga wajar bila saat ini, HT menjadi momok yang paling menakutkan bagi barat. Sampai-sampai Nixon Centre melihat HT saat ini sebagai suatu fenomena yang sangat cepat diseluruh dunia dan merasa perlu untuk mengembangkan stategi khusus untuk mencegah semakin meluasnya pengaruh pemikiran-pemikiran HT di dunia Islam.

Anggota HT terbuka bagi setiap muslim yang sudah baligh tanpa memandang jenis kelamin, suku, bangsa, warna kulit, status sosial, pekerjaan, madzhab, dll. Individu-individu dalam HT diikat dengan akidah Islam dan tsaqofah, pendapat dan ide HT. HT tak pernah memaksa, mengkooptasi, mengintimidasi seseorang untuk menjadi anggotanya. Tapi dia sendirilah yang mengharuskan dirinya menjadi anggota HT setelah dia paham mengenai tujuan, metode dakwah, ide-ide dan pemikiran-pemikiran HT. Serta puas dengan tsaqofah dan pemikiran HT dari sisi kekuatan dalil dan ketepatan realitasnya. Tentu saja, setelah sebelumnya ia pun ikut melibatkan dirinya dengan aktivitas dakwah HT selagi dia mempelajari ide-ide HT. HT membina orang-orang yang ada didalamnya dengan metode Islam untuk mendapat ma’arif (pengetahuan) yaitu metode berfikir bukan dengan metode taqlid/emosional semata. Sehingga pemikiran-pemikiran, pendapat-pendapat dan ide-ide tersebut betul-betul menancap kuat dalam setiap orang yang dibina oleh HT. karena setiap orang paham betul dengan dalil-dalil syar’i yang mendasarinya dan realitas yang terkait dengan dalil tersebut, sehingga memunculkan keyakinan dan pembenaran terhadap pemikiran-pemikiran dan ide-ide yang sedang dibahas dan selanjutnya akan terjadi proses qana’ah (menerima dengan ikhlas) untuk melaksanakan dan mendakwahi pemikiran dan ide-ide tersebut. HT juga membuka diskusi yang seluas-luasnya, hingga orang-orang yang dibina betul-betul merasa puas dengan ide-ide dan pendapat HT, hingga ke level yang tertinggi yakni pimpinan HT. bukan hanya berdiskusi kepada pembina atau penanggung jawabnya saja. HT pun membuka diri menerima saran dan kritik dari siapa saja, bukan hanya dari orang-orang yang dibina HT, tapi juga individu manapun dan dari kelompok Islam manapun. Dan HT akan siap untuk mengoreksi atau mengubah pendapatnya, jika orang tersebut bisa meyakinkan HT bahwa dalilnya lebih kuat. Karena pendapat HT bukanlah sesuatu yang suci yang tidak bisa diubah atau dikoreksi. Tapi jika pihak yang mengoreksi, tidak bisa meyakinkan HT dengan dalil yang lebih kuat, maka HT akan tetap pada pendapatnya semula.

Oleh sebab itu, usaha provokasi apapun yang berupa fitnah terhadap pendapat-pendapat, ide-ide, maupun HT itu sendiri (maaf salah satunya tulisan yang ukhti buat) tidak akan menggoyahkan orang-orang yang telah dibina oelh HT, apalagi sampai kemudian mereka berpaling dari HT, kecuali hanya 1 atau 2 orang saja (orang-orang yang malas berfikir, orang-orang yang taqlid dan orang yang tidak bertabayyun terlebih dahulu).

Cobalah ukhti renungkan pertanyaan-pertanyaan saya berikut ini, bacalah dengan hati bukan dengan mata dan jawablah dengan pikiran jernih dan hati yang bersih.

  1. apakah mungkin dari aqidah/akar/pondasi yang keliru HT bisa mengubah individu2 yang dibinanya menjadi individu2 yang menyerahkan hidup dan matinya hanya untuk Allah? Apa mungkin dari aqidah yang rusak, mereka begitu takut kepada Allah sehingga sekuat tenaga berusaha untuk terikat dengan hukum Allah?
  2. apakah mungkin dari iman yang menyimpang, orang2 yang dibina dengan pemikiran2, ide2, pendapat2 HT rela mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, harta bahkan jiwanya untuk menegakkan Islam, meninggikan kalimat-kalimat Allah dan mengembalikan kemuliaan Islam dan kaum muslimin?
  3. bagaimana dengan Muhammadev Otobex yang syahid di penjara Andijan berikut puluhan ribu muslim dan muslimah di Uzbekistan yang ditahan tanpa diadili dan selama dipenjara, mereka disiksa dengan sengatan listrik, dipukul, dibuat sesak nafas, disiram dengan gas klor, direbus dalam air mendidih hingga meninggal dunia demi mempertahankan kebenaran yagn sedang mereka emban. Apakah ini buah dari aqidah yang sesat?

Jika dibandingkan dengan aktivitas dakwah yang dijalankan oleh Rasul dan para sahabat untuk menegakkan Islam, mengupayakan Islam diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan akhirnya beliau berhasil dengan pertolongan dan izin Allah dengan tegaknya Daulah Islam yang pertama di Madinah, aktivitas HT dan orang2 yang tergabung didalamnya belumlah seberapa. Rasul SAW dan para sahabat door to door mendatangi orang2 quraisy untuk mendakwahkan Islam, berinteraksi dengan orang2 dijalan, dipasar untuk menyeru dan mengajak mereka kedalam Islam. Sehingga dari hasil kontak/interaksi Abu Bakar, beliau berhasil mengislamkan banyak orang quraisy. Kemudian bagaimana Abdullah bin Mas’ud yang dilempari batu dan dipukuli saat membacakan Al-Qur’an dihadapan orang2 kafir quraisy. Demikian juga Bilal, keluarga Amar Bin Yair yang disiksa orang2 kafir quraisy karena keteguhan mereka memegang islam. Atau jika dibandingkan dengan upaya Mush’ab bin Umair, sang peletak pondasi keberhasilan dakwah di Madinah sehingga Madinah menjadi benih awal berdirinya Daulah Islam. Seandainya HT tidak mengarahkan orang2 yang ada didalamnya untuk beraktivitas, tentu kita (orang2 yang ada di tubuh HT) tidak akan terdorong untuk menempa diri, baik aqliyah maupun nafsiyah, tidak akan termotivasi untuk berdakwah, melakukan kontak2, menyuarakan opini Islam, mengingatkan penguasa atas kelalaiannya mengurusi umat. Dan walaupun saat ini HT sudah mengarahkan aktivitas untuk orang2 yang sudah dibinanya, tapi sebenarnya aktivitas tersebut masih aktivitas minimal yang diharapkan seiring dengan peningkatan kesadaran dan keihkhlasannya, bisa mendorong berbuat yang lebih baik dan lebih baik lagi. Sehingga aktivitas mereka bisa menyamai aktivitas para sahabat baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Karena, Khilafah yang awal berhasil ditegakkan oleh orang2 sekualitas sahabat, berarti khilafah yang berikutnya (yang Insya Allah tidak akan lama lagi akan berdiri), hanya bisa ditegakkan oleh generasi saat ini yang kualitasnya sekaliber para sahabat.

Pembina ukhti selama ini, yang secara ikhlas membina ukhti, memikirkan berbagai uslub (cara) agar ukhti dan teman2 menjadi orang2 yang beraqliyah dan bernafsiyah Islam. Tidak pernah digaji dan tidak pernah diberi upah oleh HT atas jerih payahnya. Mengapa dia mau melakukannya? Apakah yang mendorong dia untuk berbuat seperti itu? Jawabnya karena didorong oleh keimanan, wahai saudariku. Jadi bagaimana mungkin aqidah yang bengkok bisa menghasilkan keikhlasan?

Tidak seperti partai ataupun kelompok yang lain, untuk mengerahkan massa, HT tidak perlu memberikan ongkos transport buat mereka, tidak perlu mengiming-imingi dengan kaos, payung, makan siang gratis atau uang. Bahkan mereka berdiri, berdesak-desakan di kereta, ibu-ibu dengan susah payah membawa anak mereka. Ini semuanya karena apa? Atau ukhti mau mengklaim bahwa mereka dipaksa, dikooptasi, dan diintimidasi untuk mau melakukan ini semua?

Apakah juga hasil dari aqidah yang keliru, jika HT dan para syababnya konsisten menyuarakan syariat Islam dan mengatakan kebaikan dan rahmat untuk seluruh alam jika dinaungi dengan syariat dan menerapkan syariat Islam secara kaffah? Apakah juga dari aqidah yang keliru jika HT menolak hukum-hukum thoqut, karena keyakinan bahwa Allahlah satu-satunya Al-Mudabbir dan sebaik-baik pembuat hukum?

HT berupaya terus membuka makar orang2 kafir yang telah menindas, merampok dan menjajah negeri2 muslim walaupun untuk itu HT harus berhadapan dengan kaum kuffar penjajah yang tidak segan2 menggunakan berbagai cara yang menjijikkan untuk menghadang dakwah HT. apakah sikap keras terhadap orang-orang kafir juga termasuk bagian dari aqidah yang sesat?

Disaat kaum kuffar memasung kepedulian kaum muslimin di suatu negeri terhadap kaum muslimin di negeri lain. Kemudian HT menguak kebusukan nasionalisme dan menyerukan kaum muslimin untuk bersatu, menjalin ukhuwah islamiyah yang dilandasi oleh aqidah Islam dan menghapus kotak-kotan nation. Yang dibuat oleh kaum kafir. Apakah hal ini buah dari aqidah yang busuk?

Jika aqidah HT keliru bahkan dikatakan sesat, mengapa K.H Ma’ruf Amin, K.H Kholil Ridwan, Habib Riziq dan ulama-ulama pesantren, tidak menjadikan HT terdakwa yang ketiga setelah Ahmadiyah dan Lia Eden yang diseret ke pengadilan karena beraqidah menyimpang dan menodai Islam? Apakah mereka tidak tahu kalau aqidah HT sesat? Padahal HT jauh lebih berbahaya dibandingkan Ahmadiyah dan Lia Eden karena justru HT lebih banyak anggota dan pendukungnya. Bahkan para syababnya gencar menyebarkan pemikiran2 HT. apakah mereka tidah tahu HT dari kulitnya saja? Apakah mereka tidak tahu pemikiran2 dan ide2 HT? Apakah mereka mereka orang2 yang mudah dibodohi oleh HT dan dihipnotis oleh HT? Atau mereka disuap oleh orang2 HT sehingga mau berdiam diri melihat kesesatan aqidah HT ? mengapa mereka diam? Dan sekarang apakah ilmu yang ukhti miliki jauh diatas mereka, sehingga ukhti lebih tahu dan bisa melihat lebih jeli bahwa aqidah HT sesat. Sementara para ulama itu tidak bisa melihatnya dan tidak mengetahuinya?

Orang-orang HT tidak pernah berputus asa, walaupun sudah sekian lama berupaya mengembalikan kemuliaan Islam dan kaum muslimin, dengan menegakkan Daulah Khilafah Rasyidah ‘ala minhajin nubuwwah. Dan semangatnya terus menyala karena yakin saat ini memang Allah belum berkehendak dan semuanya ini adalah qadla dari Allah. HT juga yakin dalam waktu dekat pasti Allah menurunkan pertolongan-Nya dengan tegaknya Khilafah. Apakah keyakinan ini juga lahir karena tidak meyakini taqdir?

Apakah sama pernyataan “HT tidak meyakini taqdir (baca:qadla dan qadar) karena dasar kehujahannya adalah hadits ahad” dengan pernyataan “Permasalahan qadla dan qadar diyakini oleh HT, tidak didasarkan pada hadits ahad, melainkan hal ini diyakini sebagai konsekuensi keimanan kepada Alah dan sifat-sifat-Nya”? atau justru ukhti tidak mengakui dan meyakini hak prerogratif Allah untuk menetapkan apa yang akan menimpa manusia dan Allah mempunyai hak untuk menetapkan sifat2 khas, keunikan2 atau keistimewaan pada makhluk2 ciptaan-Nya?

Dahulu, kaum muslimin selalu menilai pribadi seseorang berdasarkan pemikiran2 dan gagasan yang ia keluarkan dan bukan sebaliknya. Imam Ali ra, pernah berkata: “Kenalilah kebenaran terlebih dahulu, baru kemudian kalian dapat mengenali orang-orang yang mengikuti kebenaran. Apakah ilmu itu harus ditolak jika tidak dihasilkan oleh para sahabat? Berarti ilmu ushul fiqih, mutholah hadits, nahwu, shorof, balaghah, atau ilmu-ilmu pengetahuan saat ini pun tidak boleh dipelajari bahkan harus kita tolak karena ilmu-ilmu ini bukan hasil ijma dari sahabat ataupun dari wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Imam Syafe’i adalah peletak “ilmu baru” ushul fiqih” yang saat ini belum ada satu pun ulama yang membahasnya. Tapi ulama saat ini tidak mengatakan Imam Syafe’i telah sesat karena membuat bid’ah, tapi justru salah satu ulama Al-Hafidz Abdurahman Al-Mahdi mengatakan tentang Imam Syafe’i “Ketika saya melihat ar-risalah karangan Imam Syafe’i, maka saya heran karena saya melihat pembicaraan seorang yang cerdas, cemerlang dan fasih serta objektif. Oleh karenanya, saya memperbanyak do’a untuk beliau dan saya tidak mengira bahwa Allah menciptakan orang hebat seperti ini”. Dan sekarang pertanyaan saya, apakah ada, dalil syar’i baik dari Al-Qur’an, As-Sunah, ijma sahabat maupun qiyas yang mengharamkan penjelasan tentang aqidah dan syari’ah dengan uslub yang lebih mudah diterima, yang mana uslub penjelasan tersebut tidak pernah dilakukan Rasul? Apakah ukhti yakin, cara-cara untuk menjelaskan Islam yang dilakukan sahabat sama dengan yang dilakukan oleh Rasul? Apakah Rasul marah ketika seorang badui arab ditanya oleh Rasul “Dengan apa engkau mengenal Rabbmu?” jawabnya “Tahi unta itu menunjukkan adanya unta dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan”?

Saya ingin bertanya, apa beda ukhti dengan orang2 yang menjadi antek-antek orang kufur yang mereka berupaya untuk melunturkan semangat para muharik untuk memperjuangkan Islam dan berupaya menghilangkan kepercayaan para muharik tersebut pada kelompok2 Islam termasuk HT? apakah ukhti sadar, ukhti bisa menjadi pemimpin orang2 yang meninggalkan kewajiban untuk menegakkan kemuliaan Islam karena tulisan yang ukhti buat dan kemudian disebarkan? Tapi saya yakin, hanya 1 atau 2 orang saja dari syabab HT yang akan terpengaruh oleh tulisan ukhti.

Dan terakhir saya ingin bertanya apakah ukhti sadar bahwa ukhti menjadi bagian dari Ahlu sunnah wal jamaah tapi justru sikap ukhti tidak mencerminkan hal tersebut. Yang termasuk Ahlu sunnah wal jamaah tidak dibatasi satu kelompok tertentu, tapi siapa saja yang menjadi “ahlu sunnah” yaitu pengikut sunnah nabi atau pengikut ajaran Rasulullah SAW baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah. Ahli berjamaah itulah yang termasuk golongan Ahlu sunnah wal jamaah yang akan selamat dari api neraka. Jelas jamaah disini adalah “kelompok yang terorganisir” untuk senantiasa menjaga dan menegakkan Islam itu sendiri. Apalagi dalam Q.S Ali-Imran:104, Allah SWT berfirman”

“Hendaklah ada segolongan umat yang menyeru kepada Al-Khoir (Islam), meyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah oerang-orang yang beruntung”

makanya saya heran ukhti mengatakan sebagai Ahlu sunnah wal jamaah tapi justru ukhti melanggar Al-Qur’an dan Hadits-hadits yang berkaitan dengan kewajiban berjamaah. Hal tersebut tercermin dalam keputusan ukhti untuk tidak masuk ke jamaah manapun. Apalagi kejahatan yang terorganisir bisa mengalahkan kebaikan yang amburadul (tidak terorganisir) dengan baik. Ingat ukhti, makar orang-orang kafir telah tersusun dan direncanakan dengan sangat rapi.

Demikian dari saya, mudah-mudahkan mau merenungkan. Beberapa hal mungkin lebih enak kita diskusikan lebih lanjut. Saya tidak menjawab hal yang masih menjadi pertanyaan dan ganjalan ukhti, karena khawatir terkesan “membela diri”.

Syukron, Jazakillah

Wassalamu ‘alaikum Wr.Wb.

Mba *****


:) aku cuma mau mengatakan satu hal, mba... Apa yg qt bicarakan tdk akan mendapat titik temu, karena aku bicara ttng 73 golongan yg kesemuanya masih Islam, sedangkan yg mba bicarakan adalah golongan2 sesat yg jelas2 di luar Islam (Ahmadiyah & Lia 'Edan').
Tapi syukron katsir atas suratnya, mba... Jazakillah khoyr :)

From Kang Oleh

Assaalamu'alaikum wr. wb.

Hmm.. kayaknya seru juga nih. Tapi, sebelum saya mencoba memberikan jawaban, sebetulnya saya agak 'menyayangkan' keputusan ukhti Mardiyah untuk memilih tidak berjamaah. Sebab, mungkin saja itu keputusan yang terkesan tergesa-gesa. Saya nggak tahu kalo sebelumnya ukhti Mardiyah sudah berdiskusi dengan siapa saja ttg masalah ini, sehingga memutuskan dengan, katanya, tidak berdasarkan emosional semata. Tapi, apakah pernah dilakukan diskusi langsung dengan "petinggi" HT yang ada di negeri ini? Jika memang ingin mencari kejelasan yang lebih detil dan mampu "menganggukkan" kepala ukhti Mardiyah, saya pikir ukhti harus 'menguber' langsung pengurus "teras" HT. Bukan hanya diskusi dengan musyrifahnya saja (yang mungkin saja masih terbatas pemahamannya), juga dengan pengurus di wilayah tempatnya berdomisili.

Atau, andai saja ingin mencari jawaban yang lain tentang pemikiran2 HT yang masih mengganjal bagi ukhti Mardiyah, kan bisa disampaikan di milis ini misalnya, sebelum memutuskan berhenti bergabung dengan HT. Siapa tahu syabab HT atau syabab dari gerakan lain bisa membantu menjawab kebingungan ukhti (seperti tanggapan yang saya pikir cukup bagus dari akhi Eko dan akhi Syamsuddin (BTW, piye kabare mas Syam? 22 Juli 2006 insya Allah saya ada acr di Surabaya lho. Hehehe.. kapan makan nasi Punel Bangil lagi ya?). Jadi, surat terbuka ini menurut saya malah bukan ingin mencari kebenaran, tapi sudah memutuskan pilihan--sementara mungkin kebenaran yang diinginkan itu belum ukhti dapatkan jawabannya dari orang lain secara penuh dan menyeluruh. Tentu keputusan tsb menurut saya sih, kurang adil, gitu lho. Tul nggak sih? :-)

Tapi ya, apa boleh, keputusan sudah ukhti mardiyah tetapkan. Jadi kalo pun ada penjelasan tambahan dari temen-temen di milis ini atas keraguan ukhti Mardiyah terhadap beberapa poin yang ditulis dalam surat terbuka itu, mungkin tak berarti banyak. Tapi, saya masih berharap ukhti Mardiyah bisa lebih tenang dan fair. Kalo pun sudah memutuskan tidak berjamaah, tapi jika jawaban2 ini dikumpulkan lagi oleh akhi Daryono sbg "penyambung" pengiriman surat ini ke milis PI dan disampaikan lagi ke ukhti Mardiyah, saya pikir nggak ada salahnya untuk berubah pikiran kembali. Kalo pun nggak, ya ndak apa-apa kok. Setiap orang punya pendapat, punya pilihan, punya harapan, punya keinginan. Atas semua itu juga sudah ada konsekuensi bagi dirinya.

Oke deh, saya nyoba ngumpulin pendapat2 yag berserak soal ini, sesuai yang saya pahami. Jadi, kalo ada kekeliruan tolong juga dibetulkan. Oya, saya kayaknya saya coba tanggapi ttg definisi iman dan ttg hadis ahad aja deh.

Mengenai definisi iman atau akidah yg ukhti Mardiyah pertentangkan definisinya, yakni pendapat Ust Taqiyuddin an-Nabhani yang mendefinisikan bahwa akidah atau iman adalah pembenaran yang pasti (tashdiq al-jazm) yang sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil. Sebenarnya definisi yang hampir serupa disampaikan juga oleh Prof. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqiy dalam kitabnya, Sejarah dan Pengantar Tauhid: "Iman adalah kepercayaan yang kuat, tidak dipengaruhi oleh syak (ragu-ragu) atau wahm (persangkaan yang tidak beralasan) ataupun zhan (persangkaan yg tidak memiliki alasan kuat).

Dua pernyataan ini menurut saya, sebetulnya sejalan juga dengan jawaban Rasulullah saw. ketika ditanya oleh malaikat Jibril ttg apa itu iman. Dari Umar bin Khaththab ra, bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, "Kamu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab – kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari kiamat dan kepada takdir yang baik dan yang buruk" (HR Imam Muslim)

Maksud sejalan ini adalah, bahwa tidak mungkin untuk mengimani rukun iman tsb tanpa pembenaran yang pasti yang sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil.

Oya, selain mengimani rukun iman yang enam itu (yang memang itu merupakan kerangka akidah), masih banyak perkara lain yang termasuk dalam akidah, seperti iman thd rizki, ajal, tawakal kepada Allah Swt., iman dengan pertolongan Allah, iman thd sifat2 Allah, iman thd kema'shuman Nabi dan Rasul, juka mukjizat al-Quran dsb.

Nah, tentu agar akidah atau iman itu pembenarannya bersifat pasti, harus ditunjukkan dengan keyakinan (al-ilmu). `Ilmu adalah 'itiqad atau keimanan pasti yang sesuai dengan kenyataan. Adapun zhan adalah 'itiqad atau keimanan yang kuat tetapi berdasarkan persangkaan sehingga bermuara pada keyakinan atau bisa sampai pada keraguan (syak). Itu sebabnya, seperti yang ditulis ukhti Mardiyah bahwa pengertian zhan secara bahasa tidak saja bermakna celaan, tapi juga bisa bermakna pembenaran. Memang bisa demikian, tetapi, ya bisa kemudian meyakini, bisa juga malah jadi ragu kalo proses pembenarannya itu berdasarkan sangkaan meski 'itiqadnya kuat. Allah Swt. berfirman: "Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran" (QS Yunus [10]: 36)

Memang, kalo kita membaca al-Quran, kata zhan yang tercantum di kalamullah itu memiliki banyak arti, sebagaimana ditunjuk dlm masing2 ayat yg mencantmkan kata2 tsb. Zhan yang berarti 'ilmu wal yaqin tercantum dlm ayat:"Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai," (QS al-Haaqqah [69]: 20-21)

Nah, lafadz zhan spt ini yang mendapat pujian di dalam al-Quran krn kat tsb menunjukkan makna al-'lmu wal yaqin.

Kata zhan di dalam al-Quran juga trdpt dlm makna lain, yaitu al-'ammaarah alias persangkaan/ilusi, sbgm tercantum dlm ayat: "bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka kepada Tuhanmu, Dia telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (QS Fushshilat [41]: 22-23)

Ternyata, dalam al-Quran terdapat pula ayat yg mengandung kata zhan yg berarti ra'yu, yaitu pendapat yg bertitik tolak pada suatu dalil, namun dalilnya tidak qathi' (tidak bersifat pasti). Artinya, pendapat itu bukan suatu keyakinan sebagaimana arti zhan pada bagian kedua. Makna zhan pd bagian ketiga ini terletak antara pengertian pertama dan kedua, sebagaimana tercantum dalam ayat: "dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS an-Nisaa' [4]: 157-158)

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini bahwa, "Bagi orang-orang yang mengatakan: 'Sesungguhnya kami telah membunuh al-masih...' pernyataan mereka itu sebenarnya tidak berlandaskan persangkaan/ilusi. Mereka memiliki dalil yg dicerap oleh indera mereka bahwa orang yang ditangkap kemudian disalib itu memang mirip sekali dengan Isa a.s, sebagaimana tercantum dalam ayat: 'Akan tetapi, (yg mereka bunuh itu) adalah orang yg diserupakan (wajahnya) dengan Isa bagi mereka.' Meskipun demikian, dalil tsb tidak pasti dan tidak menghantarkan mereka pada suatu keyakinan, karena sebagian di antara mereka ada yg berkata: 'wajahnya wajah Isa, tapi tubuhnya berbeda'."

Demikian pula apa yg dilakukan oleh para Hawariyin (pendamping Nabi Isa a.s) yg memberitahukan kpd org2 bahwa yg disalib itu bukanlah Isa a.a. Namun, sebagain besar org tdk percaya. Org2 yg berhasil menyalib dan membunuh Isa a.s menganggap dalilnya kuat. Akan tetap, Allah Swt. memastikan bahwa pendapat mereka itu tdk benar sama sekali, dan tidak menghantarkan pada derajat yaqin dan 'ilmu.

Nah, yang menarik adalah pada ayat tsb di atas, pada saar bersamaan menggunakan empat lafadz: syak, yaqin, zhan, dan 'ilmu. Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa persangkaan itu meskipun bersifat rajih (jelas) tetap tidak disamakan atau tergolong sebagai ilmu, sehingga derajatnya nggak sampe ke taraf yakin (pasti). Ayat tsb menjelaskan pula bhw zhan yang rajih, yg bersandar pada bukti tidak sama dengan persangkaan/ilusi.

So, itu sebabnya zhan diartikan sebagai dugaan kuat. Sebagian org2 Nasrani telah meriwayatkan cerita ttg pembunuhan Isa a.s sbg suatu riwayat yg didasarkan pada kesaksian, lalu diriwayatkan kembali oleh org2 yg dianggap dipercaya dr kalangan mrk utk disampaikan kpd yg lain. Cara periwayatan spt ini tingkatnya sama dgn khabar ahad yg masyhur, dan bukan riwayat yg mutawatir krn msh dijumpai org2 yg ragu thd riwayat tsb dgn alasan2 trtentu.

Jadi, meskipun sebagian besar org (kecuali Hawariyin) memiliki bukti yg amat kuat, ttp al-Quran tdk menerimanya sbg suatu bukti, serta menolak dgn tegas perkara itu.

Nah, skrg bagaimana hubungan antara dalil zhan dan hadis ahad yang ukhti Mardiyah persoalkan juga? Zhan itu sendiri menurut Ust Fathi Salim dalam kitabnya al-Istidlaalu bi zhann fi al-Aqidah, mengandung arti I'tiqaad/keyakinan yg rajih (kuat/jelas), tetapi mengandung dua alternatif (yg bertentangan) sehingga harus meyakininya atau ragu/menolaknya.

Oke. Berdasarkan pengertian ini maka, zhan merupakan sesuatu yg mengandung lebih dari satu pengertian/kemungkinan sehingga terdapat peluang bagi manusia utk memilih pendapat yg dianggapnya mendekati kebenaran (yakin). Jadi, perkara zhan nggak bisa dipastikan akan menghasilkan sesuatu yg yakin. Hal ini menjadi alasan mengapa dalil zhan tidak dapat digunakan sebagai dalil dan hujjah dalam masalah akidah. Begitu deh. :-)

Memang ada perselisihan ttg hadis ahad ini dalam penggunaannya sebagai dalil akidah. Golongan yg berpendapat bahwa hadis ahad dpt menghantarkan pada derajat yakin, sehingga dpt dijadikan hujjah dlm perkara akidah adlh sebagian besar ulama hadis, seperti Imam Abu Dawud, Ibn Hazm, al-Karisi, al-Muhasibi, Imam Ibn Hajar al-Asqalani dan Ibn Shalah.

Adapun jumhur ulama ushul menetapkan bahwa hadis ahad menghantarkan pada zhan, namun hadis ini setelah diakui kesahihannya wajib diamalkan dalam perkara syar'i. Berbeda halnya dengan perkara akidah, karena tdk sampai pada derajat yakin, tidak dapat diamalkan. Golongan yg berpendapat seperti ini antara lain Imam madhzah yg empat (Syafi'i, Maliki, Hambali dan Hanafi), Imam Ghazali, a-Bazdawi, Khatib al-Baghadadi, hingga generasi terakhir seperti Syayid Qutb.

Masalahnya, agar akidah yang kita anut betul2 bersih dan lurus, jauh dari keraguan dan syak meskipun sedikit, sumber dan makna dalilnya harus bersifat pasti. Syaikh Jamaluddin al-Qasimi berpendapat dalam kitabnya, Qawaa'idu at-Tahdits: "Sesungguhnya jumhur kaum Muslimin dari kalangan sahabat, tabi'in, golongan setelah mereka dari kalangan fuqaha, ahli hadis, dan ulama ushul beerpendadapat bahwasannya khabar ahad yg terpercaya dapat dijadikan hujjah dalam masalah tasyri. yang wajib diamalkan, tetapi (khabar ahad ini) menghantarkan pada zhan tidak sampai pada derajat 'ilmu (yakin).

Sementara Imam Kassani berpendapat: "Dengan demikian, pendapat sebagian besar fuqaha menerima hadis ahad yang terpercaya dan adil serta (hadis ahad ini) diperlukan dalam perkara amal (tasyri'), kecuali perkara akidah, sebab i'tiqad wajib dibangun berdasarkan dalil2 yg yakin, yg tdk ada keraguan di dalamnya, sementara dlm masalah amal (tasyri') cukup dgn dalil yg rajih (kuat) saja.

Itu sebabnya, perlu dipahami bahwa tidak diterimanya hadis ahad sbg dalil dalam perkara akidah bukan berarti kita menolak dan mengingkari hadis2 ahad dalam perkara tasyri', bahkan kedudukan hadis ahad dalam perkara tasyri' sudah disepakati oleh seluruh fuqaha. So, tidak adanya i'tiqad bukan berarti ingkar/menolak, tetap menerima, hanya tidak jazm (pasti), terutama dalam perkasa akidah.

Lagian kalo ada yang kemudian berpendapat ttg hadis, "Meski ahad hadisnya, tapi kan itu dari Rasul, jadi harus dipercaya." Hmm.. kalo gitu, buat apa ada ulumul hadis? Buat apa para ulama mengklasifikasi hadis: shahih, hasan, dan dhaif. Atau dari segi sedikit-banyaknya rawi: mutawatir dan ahad. Bahkan hadis ahad itu masih dibagi lagi tiga: ahad masyhur (hadis yang diriwayatkan oelh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir); ahad 'aziz (hadis yg diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tsb terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian setelah itu, orang2 pada meriwayatkannya); ahad gharib (hadis yg dalam sanadnya terdapat seorang yg menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi).

Ah, pegel juga nih, takut bosen yang baca :-)>>apalagi yang udah tahu soal ini. Ini aja tanggapan dari saya. Semoga ada manfaatnya. Semoga juga ukhti Mardiyah bisa semakin yakin alias tidak bingung lagi. Terima kasih.


Salam,

O. Solihin

Untuk ukhti mardiyah dan kawan2 yg budiman

ukhti mardiyah dan kawan2 yg budiman,

pertama kali, saya ingin mengucapkan selamat pada ukhti mardiah yang telah melalui proses berfikir dalam mencari kebenaran (sebuah tradisi positif yang dikembangkan dalam hizb) meskipun hasil atau kesimpulan yang diambil berbeda. saya menghargai kesimpulan yang ukhti ambil. mudah2an ukhti juga udah sholat istiharah untuk mengambil jalan tersebut, jadi kalo yang dirasa adalah hidayah Allah semoga memang bener datangnya dari Allah dan bukan bisikan syetan atau hawa nafsu.

kedua, tulisan ini adalah tanggapan spontan saya yang sekedar secuil potongan puzle di tengah mozaik khazanah pemikiran yang begitu luas dalam mencari kebenaran.

saya akan langsung saja masuk pada point2 yang membimbangkan ukhti pada mulanya, yakni tentang definisi iman. dari surat ukti terlihat bahwa ukhti memposisikan berbagai pendapat/ definisi para ulama tentang iman secara diametral, seperti penyataan ini: Tapi kini aku mengerti, pertanyaan yang seharusnya bukanlah seperti itu, tapi justru sebaliknya, “Kalau tidak bertentangan, lalu kenapa kita harus membuat dan menetapkan definisi lain? Kenapa kita harus mengambil definisi An-nabhani dan meninggalkan definisi dari para Salafus Sholih? Bahkan bukankah ‘ijma Shahabat merupakan sumber hukum Islam yang ketiga? Lalu kenapa harus kita tinggalkan definisi Syar’i ini?”. Ditambah lagi, ternyata definisi “tashdiq” lebih dekat kepada definisi Iman menurut golongan murji’ah.

saya tidak meragukan upaya ukhti untuk mencari ilmu, hanya saja saya lihat ada kerancuan ukhti dalam menempatkan berbagai ilmu yang dimiliki dalam konteks yang tidak tepat. tahukah ukhti, ketika imam ali ditanya tentang sebuah persoalan (kalo saya tidak salah tentang keutamaan harta atau ilmu) beliau menjawab dengan 10 jawaban berbeda pada orang yang berbeda. perbedaan jawaban itu tidak menunjukan ketidakkonsistenan atau bias namun justru menunjukan keluasan ilmu beliau. demikian pula, ketika Rasul ditanya tentang iman, maka jawaban rasul pun sangat beragam. jawaban2 tersebut diberikan secara berbeda kepada orang yang berbeda dengan titik tekan masing-masing sesuai kondisi orang yang bertanya. ada banyak hadits tentang iman. salah satu contohnya, rasul pernah menyampaikan: La yu'minu akhadukum hatta yukhibba li akhiihi ma yukhibbu linafsihi. terjemahan bebasnya: tidaklah beriman seorang diantara kalian hingga mencintai saudaranya seperti mencintai diri kalian sendiri. apa pendapat ukhti tentang hadits ini? bukankah dapat ditarik suatu pemahaman bahwa rasa cinta pada saudara kita juga menjadi syarat keimanan? lalu bagaimana dengan muslim yang egois, tidak peduli dengan saudaranya, tapi rajin beribadah? apakah berarti tidak beriman? oleh karena itu terjemahan tsb diperhalus oleh para ulama menjadi "tidak sempurna iman seseorang hingga....."

bila kita dapat memahami 10 jawaban seorang imam ali yang berbeda2 tentang satu persoalan, sebagai kekayaan ilmu, seharusnya kita dapat lebih mentoleransi perbedaan jawaban definisi tentang iman yang diberikan oleh dua orang yang berbeda pada zaman yang berbeda dengan alasan yang sama (kekayaan khazanah islam). jadi persoalannya bukan pada: lalu jawaban mana yang benar? namun jawaban mana yang tepat dalam konteks masalah yang tepat?

Definisi iman sebagai tasdiqul jazm (pembenaran yang pasti) diulas oleh an nabhani dalam bab-bab awal tentang aqidah. dalam hal ini definisi tersebut memberikan tekanan pada batasan antara iman dan kufur. seseorang harus meyakini dan membenarkan secara pasti (tanpa ada keraguan) tentang sesuatu yang diimaninya. Dalam banyak riwayat hadits, kita mengetahui bahwa di akherat kelak, orang-orang yang berbuat maksiyat dan bertempat di neraka akan diberikan balasan sesuai amalannya, dan akan dicari yang masih memiliki iman, untuk akhirnya diselamatkan. bagaimana kita mensikapi ini bila definisi yang digunakan adalah sesuatu yang diyakini, diucapkan, dan diamalkan? sementara amalan orang2 tsb justru maksiyat. namun Allah berjanji akan mengangkat/ menyelematkan mereka yang masih memiliki iman. Artinya, iman dalam konteks ini menjadi batasan apakah seseorang meyakini/ membenarkan secara pasti/ tak ada keraguan terhadap eksistensi Allah, membenarkan bahwa Allah lah penciptanya, pembuat hukum, pengatur kehidupan...meski dalam prakteknya ia menjadi dzolim atau fasik.

Saya memahami jawaban definisi iman para ulama yang beragam boleh jadi dipengaruhi titik tekan perhatian masing-masing menghadapi berbagai persoalan yang mengemuka di zamannya. saya memahami para ulama genarasi salaf membuat definisi tentang iman,bahwa Iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang”. Itu adalah jawaban yang sempurna dengan titik tekan pada pengamalan iman seseorang, dan bagaimana seseorang memilihara konsistensi peningkatan amalnya dari hari ke hari. Pada masa generasi itu, keimanan dalam pengertian keyakinan kepada Allah sebagai pencipta sekaligus pembuat hukum yang dimiliki umat masih sangat tinggi, hanya amalnya yang sering dipengaruhi cinta dunia. Hampir tak ada orang islam saat itu yang meragukan hak Allah sebagai pembuat hukum sekaligus pengatur kehidupan. Namun ada banyak orang yang tergelincir karena penyakit wahn.

Namun, seiring dengan berputarnya waktu, masuknya pemikiran2 asing ke tubuh umat, persoalan umat ini menjadi sangat kompleks. Hingga keyakinannya pada Allah menjadi setengah-setengah. Ada orang yang meyakini bahwa Allah lah pencipta alam semesta, namun ia tidak meyakini Allah sebagai pengatur kehidupan dan pembuat hukum. Pada saat sholat ia menggunakan aturan2 allah, karena yakin 100% Allah menurunkan aturan tata cara sholat itu. Namun pada saat ia menjalani aktivitas sosial, ekonomi, dll ia tinggalkan aturan Allah, karena tidak meyakini bahwa Allah menurunkan hukum-Nya tentang itu. Di sinilah keimanan kepada Allah tidak boleh setengah-setengah. Dalam konteks ini lah, keimanan itu harus bulat 100%, tidak bertambah dan berkurang dalam meyakini Allah secara rububiyah, uluhiah, maupun Mulkiyah (hakimiyah). Simaklah kandungan Al fatihah dan An Naas tentang tiga hal ini. Di sini saya juga bisa memahami pendapat an Nabahani tentang definisi iman sebagai pembenaran yang pasti. Ketika kita membincangkan persoalan aqidah yang seperti ini, tentu definisi iman adalah “perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang” menjadi kurang tepat. Saya tidak menagtakan bahwa defini itu salah, tapi tolong lihat konteksnya secara proporsional.

Namun demikian, pembahasan tidak berhenti sampai di situ. dalam banyak kitab HT juga dibahas mengenai konsekuensi Iman. nah disini ukhti akan banyak memperoleh bahasan mengenai tafsir ayat yang terjemahnya kurang lebih “tidak lah mereka beriman hingga menjadikan engkau (muhammad) sebagai pemutus perkara diantara mereka.” Nah, ini lebih besar lagi konsekuensinya. Keimanan ternyata juga mensyaratkan untuk menjadikan Nabi sebagai pemutus perkara manusia.

mau nyambung lagi nih tentang pembahasan iman, dalam TQS An Nisa: 65: "Maka demi Rabbmu, tidaklah mereka beriman hingga menjadikan kamu (muhammad sebagai pemutus perkara di antara mereka...." jadi iman dalam konteks ini juga mensyaratkan pengakuan dan sikap menjadikan Rasul sebagai hakim atas berbagai perkara. apalagi bila mengingat asbab an nuzul ayat ini yang berkaitan dengan polemik antara zubair dan orang anshar mengenai pengairan tanah pertanian, sikap untuk menjadikan rasul sebagai hakim itu adalah untuk masalah2 yang bersifat sosial atau kehidupan sehari-hari tidak saja urusan ibadah mahdoh.

jadi, janganlah picik dengan keterbatasan ilmu kita untuk mudah memvonis salah/ benarnya seorang ulama.

berikutnya, soal ahlusunnah. Perlu diketahui bahwa "ahlusunnah" yang dimaksud dalam pembahasan qodho dan qodar bersama dengan jabariah dan qodariah tidaklah sama dengan ahlusunnah wal jamaah dalam hadits 73 golongan. "Ahlusunnah" dalam pembahasan qodho dan qodar, juga terbagi menjadi dua golongan, yakni Asyariah dan Maturidiah. Lalu mana yang betul2 ahlusunnah? apakah dua golongan itu termasuk yang 72 golongan atau yang 1 golongan? bagaimana jika saat ini ada sekumpulan orang yang membuat organisasi bernama "ahlusunnah", apakah otomatis dia akan menjadi golongan yang selamat? bahkan ekstremnya, bagaimana bila HT berubah namanya menjadi ahlusunnah, apa otomatis akan merubah sikap anda?

Pernyataan ukhti mardiah bahwa HT mengatakan rukun iman itu hanya 5, tanpa menyertakan takdir. Ini adalah fitnah yang keji! Lalu bagaimana anda menjelaskan pembahasan Materi Dasar Islam (sebuah buku seleksi awal- untuk Pra murakazah) yang mencantumkan hadits riwayat bukhori: "Coba ceritakan apa iman itu? lalu Rasulullah menjawab: Iman itu percaya kepada adanya Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para raul-Nya, hari kiamat, dan percaya kepada takdir baik dan buruknya berasal dari Allah". Saya justru ragu apakah anda benar-benar mengkaji buku ini atau tidak? sebab standar minimal sebelum masuk darisah, adalah mengkaji MDI ini.

untuk hal-hal lainnya, saya pikir mas syamsudin dll telah memberikan penjelasan yang sangat baik. Pada akhuna daryono mudah2an dapat merangkai berbagai jawaban yang berserak ini menjadi tulisan yang utuh dan enak dibaca.

wassalam.

Eko Cahyadi