Assaalamu'alaikum wr. wb.
Hmm.. kayaknya seru juga nih. Tapi, sebelum saya mencoba memberikan jawaban, sebetulnya saya agak 'menyayangkan' keputusan ukhti Mardiyah untuk memilih tidak berjamaah. Sebab, mungkin saja itu keputusan yang terkesan tergesa-gesa. Saya nggak tahu kalo sebelumnya ukhti Mardiyah sudah berdiskusi dengan siapa saja ttg masalah ini, sehingga memutuskan dengan, katanya, tidak berdasarkan emosional semata. Tapi, apakah pernah dilakukan diskusi langsung dengan "petinggi" HT yang ada di negeri ini? Jika memang ingin mencari kejelasan yang lebih detil dan mampu "menganggukkan" kepala ukhti Mardiyah, saya pikir ukhti harus 'menguber' langsung pengurus "teras" HT. Bukan hanya diskusi dengan musyrifahnya saja (yang mungkin saja masih terbatas pemahamannya), juga dengan pengurus di wilayah tempatnya berdomisili.
Atau, andai saja ingin mencari jawaban yang lain tentang pemikiran2 HT yang masih mengganjal bagi ukhti Mardiyah, kan bisa disampaikan di milis ini misalnya, sebelum memutuskan berhenti bergabung dengan HT. Siapa tahu syabab HT atau syabab dari gerakan lain bisa membantu menjawab kebingungan ukhti (seperti tanggapan yang saya pikir cukup bagus dari akhi Eko dan akhi Syamsuddin (BTW, piye kabare mas Syam? 22 Juli 2006 insya Allah saya ada acr di Surabaya lho. Hehehe.. kapan makan nasi Punel Bangil lagi ya?). Jadi, surat terbuka ini menurut saya malah bukan ingin mencari kebenaran, tapi sudah memutuskan pilihan--sementara mungkin kebenaran yang diinginkan itu belum ukhti dapatkan jawabannya dari orang lain secara penuh dan menyeluruh. Tentu keputusan tsb menurut saya sih, kurang adil, gitu lho. Tul nggak sih? :-)
Tapi ya, apa boleh, keputusan sudah ukhti mardiyah tetapkan. Jadi kalo pun ada penjelasan tambahan dari temen-temen di milis ini atas keraguan ukhti Mardiyah terhadap beberapa poin yang ditulis dalam surat terbuka itu, mungkin tak berarti banyak. Tapi, saya masih berharap ukhti Mardiyah bisa lebih tenang dan fair. Kalo pun sudah memutuskan tidak berjamaah, tapi jika jawaban2 ini dikumpulkan lagi oleh akhi Daryono sbg "penyambung" pengiriman surat ini ke milis PI dan disampaikan lagi ke ukhti Mardiyah, saya pikir nggak ada salahnya untuk berubah pikiran kembali. Kalo pun nggak, ya ndak apa-apa kok. Setiap orang punya pendapat, punya pilihan, punya harapan, punya keinginan. Atas semua itu juga sudah ada konsekuensi bagi dirinya.
Oke deh, saya nyoba ngumpulin pendapat2 yag berserak soal ini, sesuai yang saya pahami. Jadi, kalo ada kekeliruan tolong juga dibetulkan. Oya, saya kayaknya saya coba tanggapi ttg definisi iman dan ttg hadis ahad aja deh.
Mengenai definisi iman atau akidah yg ukhti Mardiyah pertentangkan definisinya, yakni pendapat Ust Taqiyuddin an-Nabhani yang mendefinisikan bahwa akidah atau iman adalah pembenaran yang pasti (tashdiq al-jazm) yang sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil. Sebenarnya definisi yang hampir serupa disampaikan juga oleh Prof. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqiy dalam kitabnya, Sejarah dan Pengantar Tauhid: "Iman adalah kepercayaan yang kuat, tidak dipengaruhi oleh syak (ragu-ragu) atau wahm (persangkaan yang tidak beralasan) ataupun zhan (persangkaan yg tidak memiliki alasan kuat).
Dua pernyataan ini menurut saya, sebetulnya sejalan juga dengan jawaban Rasulullah saw. ketika ditanya oleh malaikat Jibril ttg apa itu iman. Dari Umar bin Khaththab ra, bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, "Kamu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab – kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari kiamat dan kepada takdir yang baik dan yang buruk" (HR Imam Muslim)
Maksud sejalan ini adalah, bahwa tidak mungkin untuk mengimani rukun iman tsb tanpa pembenaran yang pasti yang sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil.
Oya, selain mengimani rukun iman yang enam itu (yang memang itu merupakan kerangka akidah), masih banyak perkara lain yang termasuk dalam akidah, seperti iman thd rizki, ajal, tawakal kepada Allah Swt., iman dengan pertolongan Allah, iman thd sifat2 Allah, iman thd kema'shuman Nabi dan Rasul, juka mukjizat al-Quran dsb.
Nah, tentu agar akidah atau iman itu pembenarannya bersifat pasti, harus ditunjukkan dengan keyakinan (al-ilmu). `Ilmu adalah 'itiqad atau keimanan pasti yang sesuai dengan kenyataan. Adapun zhan adalah 'itiqad atau keimanan yang kuat tetapi berdasarkan persangkaan sehingga bermuara pada keyakinan atau bisa sampai pada keraguan (syak). Itu sebabnya, seperti yang ditulis ukhti Mardiyah bahwa pengertian zhan secara bahasa tidak saja bermakna celaan, tapi juga bisa bermakna pembenaran. Memang bisa demikian, tetapi, ya bisa kemudian meyakini, bisa juga malah jadi ragu kalo proses pembenarannya itu berdasarkan sangkaan meski 'itiqadnya kuat. Allah Swt. berfirman: "Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran" (QS Yunus [10]: 36)
Memang, kalo kita membaca al-Quran, kata zhan yang tercantum di kalamullah itu memiliki banyak arti, sebagaimana ditunjuk dlm masing2 ayat yg mencantmkan kata2 tsb. Zhan yang berarti 'ilmu wal yaqin tercantum dlm ayat:"Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai," (QS al-Haaqqah [69]: 20-21)
Nah, lafadz zhan spt ini yang mendapat pujian di dalam al-Quran krn kat tsb menunjukkan makna al-'lmu wal yaqin.
Kata zhan di dalam al-Quran juga trdpt dlm makna lain, yaitu al-'ammaarah alias persangkaan/ilusi, sbgm tercantum dlm ayat: "bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka kepada Tuhanmu, Dia telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (QS Fushshilat [41]: 22-23)
Ternyata, dalam al-Quran terdapat pula ayat yg mengandung kata zhan yg berarti ra'yu, yaitu pendapat yg bertitik tolak pada suatu dalil, namun dalilnya tidak qathi' (tidak bersifat pasti). Artinya, pendapat itu bukan suatu keyakinan sebagaimana arti zhan pada bagian kedua. Makna zhan pd bagian ketiga ini terletak antara pengertian pertama dan kedua, sebagaimana tercantum dalam ayat: "dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS an-Nisaa' [4]: 157-158)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini bahwa, "Bagi orang-orang yang mengatakan: 'Sesungguhnya kami telah membunuh al-masih...' pernyataan mereka itu sebenarnya tidak berlandaskan persangkaan/ilusi. Mereka memiliki dalil yg dicerap oleh indera mereka bahwa orang yang ditangkap kemudian disalib itu memang mirip sekali dengan Isa a.s, sebagaimana tercantum dalam ayat: 'Akan tetapi, (yg mereka bunuh itu) adalah orang yg diserupakan (wajahnya) dengan Isa bagi mereka.' Meskipun demikian, dalil tsb tidak pasti dan tidak menghantarkan mereka pada suatu keyakinan, karena sebagian di antara mereka ada yg berkata: 'wajahnya wajah Isa, tapi tubuhnya berbeda'."
Demikian pula apa yg dilakukan oleh para Hawariyin (pendamping Nabi Isa a.s) yg memberitahukan kpd org2 bahwa yg disalib itu bukanlah Isa a.a. Namun, sebagain besar org tdk percaya. Org2 yg berhasil menyalib dan membunuh Isa a.s menganggap dalilnya kuat. Akan tetap, Allah Swt. memastikan bahwa pendapat mereka itu tdk benar sama sekali, dan tidak menghantarkan pada derajat yaqin dan 'ilmu.
Nah, yang menarik adalah pada ayat tsb di atas, pada saar bersamaan menggunakan empat lafadz: syak, yaqin, zhan, dan 'ilmu. Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa persangkaan itu meskipun bersifat rajih (jelas) tetap tidak disamakan atau tergolong sebagai ilmu, sehingga derajatnya nggak sampe ke taraf yakin (pasti). Ayat tsb menjelaskan pula bhw zhan yang rajih, yg bersandar pada bukti tidak sama dengan persangkaan/ilusi.
So, itu sebabnya zhan diartikan sebagai dugaan kuat. Sebagian org2 Nasrani telah meriwayatkan cerita ttg pembunuhan Isa a.s sbg suatu riwayat yg didasarkan pada kesaksian, lalu diriwayatkan kembali oleh org2 yg dianggap dipercaya dr kalangan mrk utk disampaikan kpd yg lain. Cara periwayatan spt ini tingkatnya sama dgn khabar ahad yg masyhur, dan bukan riwayat yg mutawatir krn msh dijumpai org2 yg ragu thd riwayat tsb dgn alasan2 trtentu.
Jadi, meskipun sebagian besar org (kecuali Hawariyin) memiliki bukti yg amat kuat, ttp al-Quran tdk menerimanya sbg suatu bukti, serta menolak dgn tegas perkara itu.
Nah, skrg bagaimana hubungan antara dalil zhan dan hadis ahad yang ukhti Mardiyah persoalkan juga? Zhan itu sendiri menurut Ust Fathi Salim dalam kitabnya al-Istidlaalu bi zhann fi al-Aqidah, mengandung arti I'tiqaad/keyakinan yg rajih (kuat/jelas), tetapi mengandung dua alternatif (yg bertentangan) sehingga harus meyakininya atau ragu/menolaknya.
Oke. Berdasarkan pengertian ini maka, zhan merupakan sesuatu yg mengandung lebih dari satu pengertian/kemungkinan sehingga terdapat peluang bagi manusia utk memilih pendapat yg dianggapnya mendekati kebenaran (yakin). Jadi, perkara zhan nggak bisa dipastikan akan menghasilkan sesuatu yg yakin. Hal ini menjadi alasan mengapa dalil zhan tidak dapat digunakan sebagai dalil dan hujjah dalam masalah akidah. Begitu deh. :-)
Memang ada perselisihan ttg hadis ahad ini dalam penggunaannya sebagai dalil akidah. Golongan yg berpendapat bahwa hadis ahad dpt menghantarkan pada derajat yakin, sehingga dpt dijadikan hujjah dlm perkara akidah adlh sebagian besar ulama hadis, seperti Imam Abu Dawud, Ibn Hazm, al-Karisi, al-Muhasibi, Imam Ibn Hajar al-Asqalani dan Ibn Shalah.
Adapun jumhur ulama ushul menetapkan bahwa hadis ahad menghantarkan pada zhan, namun hadis ini setelah diakui kesahihannya wajib diamalkan dalam perkara syar'i. Berbeda halnya dengan perkara akidah, karena tdk sampai pada derajat yakin, tidak dapat diamalkan. Golongan yg berpendapat seperti ini antara lain Imam madhzah yg empat (Syafi'i, Maliki, Hambali dan Hanafi), Imam Ghazali, a-Bazdawi, Khatib al-Baghadadi, hingga generasi terakhir seperti Syayid Qutb.
Masalahnya, agar akidah yang kita anut betul2 bersih dan lurus, jauh dari keraguan dan syak meskipun sedikit, sumber dan makna dalilnya harus bersifat pasti. Syaikh Jamaluddin al-Qasimi berpendapat dalam kitabnya, Qawaa'idu at-Tahdits: "Sesungguhnya jumhur kaum Muslimin dari kalangan sahabat, tabi'in, golongan setelah mereka dari kalangan fuqaha, ahli hadis, dan ulama ushul beerpendadapat bahwasannya khabar ahad yg terpercaya dapat dijadikan hujjah dalam masalah tasyri. yang wajib diamalkan, tetapi (khabar ahad ini) menghantarkan pada zhan tidak sampai pada derajat 'ilmu (yakin).
Sementara Imam Kassani berpendapat: "Dengan demikian, pendapat sebagian besar fuqaha menerima hadis ahad yang terpercaya dan adil serta (hadis ahad ini) diperlukan dalam perkara amal (tasyri'), kecuali perkara akidah, sebab i'tiqad wajib dibangun berdasarkan dalil2 yg yakin, yg tdk ada keraguan di dalamnya, sementara dlm masalah amal (tasyri') cukup dgn dalil yg rajih (kuat) saja.
Itu sebabnya, perlu dipahami bahwa tidak diterimanya hadis ahad sbg dalil dalam perkara akidah bukan berarti kita menolak dan mengingkari hadis2 ahad dalam perkara tasyri', bahkan kedudukan hadis ahad dalam perkara tasyri' sudah disepakati oleh seluruh fuqaha. So, tidak adanya i'tiqad bukan berarti ingkar/menolak, tetap menerima, hanya tidak jazm (pasti), terutama dalam perkasa akidah.
Lagian kalo ada yang kemudian berpendapat ttg hadis, "Meski ahad hadisnya, tapi kan itu dari Rasul, jadi harus dipercaya." Hmm.. kalo gitu, buat apa ada ulumul hadis? Buat apa para ulama mengklasifikasi hadis: shahih, hasan, dan dhaif. Atau dari segi sedikit-banyaknya rawi: mutawatir dan ahad. Bahkan hadis ahad itu masih dibagi lagi tiga: ahad masyhur (hadis yang diriwayatkan oelh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir); ahad 'aziz (hadis yg diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tsb terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian setelah itu, orang2 pada meriwayatkannya); ahad gharib (hadis yg dalam sanadnya terdapat seorang yg menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi).
Ah, pegel juga nih, takut bosen yang baca :-)>>apalagi yang udah tahu soal ini. Ini aja tanggapan dari saya. Semoga ada manfaatnya. Semoga juga ukhti Mardiyah bisa semakin yakin alias tidak bingung lagi. Terima kasih.
Salam,
O. Solihin